Ide Lahirnya Kopassus dari Pertempuran Berantas RMS di Pulau Ambon

Share:

satumalukuID – Mungkin generasi milenial saat ini dan orang awam, kurang mengetahui ide atau gagasan lahirnya pasukan elit TNI AD yakni Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang kini markas besarnya di Cijantung, Jakarta Timur.

Pasukan komando yang lahir 16 April 1952 itu. Sebelumnya bernama Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD), lalu berubah menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) dan sampai kini bertahan dengan nama Kopassus.

Tanpa banyak orang yang tahu. Ide lahirnya pasukan komando tersebut, berawal dari pertempuran penumpasan gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) di Pulau Ambon, Kepulauan Lease dan Pulau Seram pada tahun 1950, oleh Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), yang kemudIan jadi ABRI dan kini TNI.

RMS sendiri diproklamirkan pada 25 April 1950, tepat hari ini Senin 25 April 2022, sudah berlalu 72 tahun silam.

Dari berbagai referensi dan literatur, diungkap bahwa pada 23 April 1950, J. Manuhutu didatangi orang-orang bersenjata. Mereka pendukung ide bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Mr Chris Soumokil, yang menekan Kepala Daerah Maluku Selatan itu agar mau mendirikan negara di Ambon. Akhirnya, Manuhutu luluh dan membacakan Proklamasi RMS, 25 April 1950.

“Memenuhi kemauan jang sungguh, tuntutan dan desakan rakjat Maluku Selatan, maka dengan ini kami proklamir Kemerdekaan Republik Maluku Selatan, de facto de jure, yang berbentuk Republik, lepas dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan R.I.S.” begitu awal penggalan proklamasi RMS.

Para pejabat RMS langsung sadar mereka akan mendapat perlawanan dari APRIS (TNI). Maka, RMS pun perkuat pasukannya. Bekas sersan Tentara Hindia Belanda (KNIL) diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang RMS dan ratusan bekas KNIL dengan dibantu ribuan pemuda bersenjata tombak dan panah menjadi kekuatan inti militernya ketika itu.

Dengan kekuatan itu, RMS adalah pemberontakan besar yang pertama kali membuat pemerintahan Presiden Soekarno kerepotan. Pasukan RMS dianggap lebih tangguh dalam bertempur ketimbang TNI. Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) segera mengambil tindakan.

Operasi penumpasan diserahkan pada Kolonel Alex Evert Kawilarang, kawan Nasution waktu di Akademi Militer Kerajaan di Bandung. Alex Kawilarang merupakan Panglima Ekspedisi Tentara di Indonesia Timur.

Maka Indonesia juga merekrut ribuan bekas KNIL sebagai tentaranya. Langkah itu merupakan salah satu keputusan Konferensi Meja Bundar 1949: harus menerima bekas KNIL, yang semasa revolusi 1945-1949 melawan Republik Indonesia. Sebagian bekas KNIL itu lalu menjalani “perpeloncoan” sekaligus “penebusan dosa”. Mereka dikirim ke Maluku untuk melawan pasukan RMS.

KOPASSUS LAHIR TERILHAMI KEMAMPUAN PASUKAN RMS

Ide Kopassus lahir awalnya digagas oleh Letkol Ignatius Slamet Rijadi, terilhami dari kepiawaian segelintir pasukan elite eks Belanda (KNIL) yang berada di kubu RMS, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) dan Depot Speciale Troepen (DST) pada masa penumpasan pemberontakan RMS, pertengahan 1950.

Slamet Rijadi diperintahkan memimpin pasukan besar APRIS di bawah komando Kolonel Alex Evert Kawilarang. Tapi pada suatu pendaratan di pantai utara Tulehu dan Hitu, 28 September 1950, pasukannya kewalahan dengan para sniper (penembak runduk) KST di kubu RMS.

Disebutkan dalam “Memoar H.N (Herman Nicolas) Ventje Sumual” serta biografi “Ignatius Slamet Rijadi: Dari Mengusir Kempeitai Sampai Menumpas RMS”, Pasukannya juga tak kalah kewalahan di berbagai tempat, seperti Hitu, Telaga Kodok, serta Piru, dalam upaya pasukan APRIS menerobos ke pusat kota Ambon.

“Pas turun dari pantai Tulehu, mereka (APRIS) dihabisi sama sniper-sniper baret hijau DST,” tegas aktivis reka ulang sejarah, Firman Hendriansyah kepada Okezone beberapa tahun lalu.

Begitupun di Piru dan Amahai. Bahkan di Amahai, pasukan APRIS dari Batalyon 352, diserang mendadak “ala komando”. Dalam serangan itu, pasukan APRIS kehilangan 22 personel serta direbutnya tiga pucuk senapan mesin ringan Bren.

Sementara pihak RMS hanya kehilangan empat anggotanya. Di balik tragedi itu, Slamet Rijadi mengaku terkesima dan kagum, sampai akhirnya mengharapkan Indonesia punya pasukan serupa yang bahkan lebih andal dan legendaris.

“Lewat peristiwa ini, Slamet Rijadi akhirnya menarik kesimpulan, bahwa serangan pasukan komando KST semacam ini kelak harus bisa dilakukan oleh anak buahnya. Serangan mengejutkan dengan personel terbatas, tapi dengan hasil yang maksimal,” mengutip biografi Slamet Rijadi.

Dua tahun kemudian, Kawilarang seolah melanjutkan keinginan Slamet Rijadi yang gugur di Ambon (4 November 1950), untuk membentuk pasukan elite Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (Kesko TT).

Cikal-bakal Kopassus yang dibidani Mayor Mochamad Idjon Djanbi (ia orang Belanda dan eks KNIL yang menjadi warga negara Indonesia) itu diresmikan berdiri 16 April 1952, oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Abdoel Haris Nasution.

Terkait dengan ide Slamet Rijadi bentuk Kopassus itu, penulis media ini pada beberapa tahun lalu, sempat mewawancarai pelaku dan saksi mata pertempuran antara pasukan eks KNIL di RMS dan tentara kubu APRIS, yaitu opa Piet Suribory yang adalah salah satu anggota regu pengawal Panglima angkatan bersenjata RMS.

“Beberapa bataliyon APRIS masuk Pulau Ambon melalui pantai Hitu dan Tulehu. Mereka menyerang gunakan strategi menggunting dari arah Passo dan Tulehu, untuk serang posisi kami di Waitatiri Suli. Pertempuran hebat disitu. Kami kalah senjata dan amunisi. Tapi pasukan APRIS meninggal banyak, karena mereka diserang mendadak. Kami lalu lari ke hutan dan juga berenang ke arah Hutumuri, kemudian sebagian besar mengungsi ke Pulau Seram,” cerita opa Piet.

Ketika RMS berhasil ditumpas dan Presiden nya Mr Christian Soumokil ditahan dan dieksekusi mati di Jogjakarta. Para eks KNIL termasuk opa Piet Suribory, diberi pilihan: Berangkat ke Belanda, melebur diri masuk TNI atau jadi pegawai sipil dan pensiun. Beliau kemudian pilih jadi PNS dan hingga pensiun kerja di Disnaker Maluku.

Pertempuran penumpasan RMS bukan saja jatuh korban banyak tentara APRIS. Bahkan perwira-perwira hebat eks KNIL serta tiga komandan bataliyon (Danyon) yang terkenal dikirim ke Ambon pun akhirnya gugur.

Ketiga nama Danyon itu adalah Slamet Riyadi, Slamet Sudiarto, dan Abdullah. Mereka dikenang, karena semuanya gugur dalam pertempuran. Mayor Abdullah meninggal saat pimpin pendaratan; tertembak di atas kapal oleh peluru RMS pada 25 September 1950 di sekitar Seram.

Kemudian pada 28 September 1950, pasukan TNI akan mendarat di Hitumeseng, dan Letkol Slamet Sudiarto kena tembak saat hendak keluar dari kapal. Peluru menembus ususnya. Ia sempat dioperasi di KM Waibalong, tetapi akhirnya meninggal.

Sebulan setelahnya, Slamet Riyadi menyusul. Pada 4 November 1950, Slamet Riyadi meninggal setelah tertembak sniper RMS ketika hendak memasuki kota Ambon melalui kawasan Ongkoliong, Batumerah Bawah.

“Letkol Slamet Riyadi di atas tank. Kemudian, nasib menentukan, serentetan tembakan bren dari seorang RMS mengenai perutnya dengan parah. Peluru kena di metal di belt (ikat pinggang) dan karena itu dum-dum. Lukanya besar. Akibat luka-luka yang amat parah itu akhirnya Letkol Slamet Riyadi gugur,” kata Alex Kawilarang dalam biografinya, Untuk Sang Merah Putih.

Operasi menumpas RMS ini memang berat dan sulit. Tangguhnya pasukan RMS membuat pasukan RI sulit pulang hidup-hidup dari Ambon. Ini adalah “perpeloncoan” sangat berat bagi anggota TNI eks KNIL, juga tentara yang berjuang di masa revolusi.

Pada perang melawan RMS, pasukan yang hampir semuanya bekas KNIL namanya Batalion 3 Mei. Dinamai demikian karena dibentuk di Manado pada 3 Mei 1950, oleh bekas KNIL dan laskar pejuang yang berontak pada Belanda di Manado.

JOSEF “JOST” MUSKITA

Sementara itu, dalam beberapa catatan dan referensi, pada penumpasan RMS itu. Ada beberapa perwira muda eks KNIL lain yang bertempur di front terdepan yang diantaranya ada putra-putra Maluku sendiri, selain J. Worang dari Sulut. Yaitu Leo Lopulisa (almarhum Letjen Pur mantan Pangkostrad), Mayjen TNI Josef “Jost” Muskita (almarhum mantan Sekretaris Wapres) dan Pelupessy.

Kapten Josef Muskita alias Joost yang paling tersohor. Sebelum bergabung dengan TNI pada Agustus 1950, Joost adalah bekas Letnan KNIL juga. Dia lulusan sekolah perwira cadangan Infanteri KNIL angkatan 1947 di Bandung. Sepanjang operasi, Muskita tak diberi jabatan memimpin pasukan.

Dengan pangkat kapten, Joost dijadikan perwira operasi pada grup yang dipimpin Slamet Riyadi. Operasi yang ikut ditangani Joost cukup sukses, meski ia harus membayarnya dengan permusuhan dari sang ayah, orang Ambon yang bekas Sersan KNIL. Hampir sepuluh tahun ayahnya tak mau bicara dengan Joost.

Nampaknya, sang ayah tidak suka Joost menembaki sesama orang Ambon. Untunglah pengorbanan itu tak terlalu sia-sia. Kelak, karier Joost berkembang paling moncer dibandingkan dengan mantan KNIL lain. Dia mencapai pangkat mayor jenderal dan kemudian jadi duta besar di Jerman dan Sekretaris Wapres Umar Wirahadikusuma.

Muskita dikenal sebagai perwira pejuang yang terlibat dalam beberapa operasi militer seperti penumpasan RMS, Permesta, di Sumatera dan lainnya. Ia pensiun dari karier militernya tahun 1979 dengan pangkat jenderal bintang dua atau Mayor Jenderal (Mayjen).

Karier militernya dimulai ketika lulus jadi prajurit KNIL. Ketika Indonesia merdeka 1945 dan KNIL bubar 1950, Muskita yang sudah berpangkat Letnan memilih beralih mengabdi sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). (NP)

Share:
Komentar

Berita Terkini