“Rasa Maluku” di Depok Lama

Share:


Oh… marga Hetharia ya

Ini Hetharia darimana?
Depok atau Ambon?

Begitulah ucapan yang sering Saya dengar, saat memperkenalkan diri kepada beberapa orang di Depok Lama.

Awalnya sih kaget dengan pertanyaan itu. Karena setahu saya marga Hetharia itu dari Ambon, tepatnya dari Negeri Oma Leparissa Leamahu. Tapi lama kelamaan jadi terbiasa. Rupanya, terdapat sejumlah keluarga bermarga Hetharia juga di Depok, khususnya di kawasan Depok Lama.

Ada yang baru merantau dari Ambon dan banyak juga yang sudah beranak-pinak dan belum pernah pulang ke Ambon. Apalagi ke Negeri Oma, Leparissa Leamahu. Makanya, mereka lebih sreg disebut orang Depok, walau tahu asal-usul keluarga berasal dari Negeri Oma, di Pulau Haruku, Maluku Tengah.

Bahkan, di Gereja Immanuel, Jalan Pemuda, Depok Lama, seringkali ada Pendeta bermarga Hetharia yang memimpin kebaktian dan ada juga ibu pendeta yang menggunakan marga Hetharia karena suaminya.

Kawasan Depok Lama, yang letak geografisnya di perbatasan Depok dan Bogor ini, memang unik. Apalagi, kalau beribadah di Gereja GPIB Immanuel yang sudah ratusan tahun usianya. Sekitar 50 – 60 persen akan berjumpa anggota jemaat dengan ciri mirip orang Maluku.

Banyak marga Maluku di Jemaat Immanuel Depok, selain Hetharia, ada Sitaniapessy, Ihalauw, Berhitu, Hukom, Pattikawa, Wattimena, Loupatty, Pattiasina, Siahaya, Lisapaly, Salawane, Parinusa, Syauta, dan sejumlah marga Ambon lainnya. 

Ada yang hanya menjadi anggota jemaat dan ada juga yang menjadi majelis jemaat. Bahkan, ketua majelis jemaat Immanuel Depok dua tahun sebelumnya bermarga Letlora dan sekarang ini bermarga Loupatty.

Tetapi sudah bisa dipastikan berbagai nama bermarga asal Maluku itu bukanlan penduduk asli Depok Lama, tetapi umumnya adalah masyarakat perantauan dari Maluku.

Dulu, warga yang tinggal di kawasan Depok Lama, sering disebut Belanda Depok. Bagi orang asli Depok julukan itu berkonotasi negatif. Tapi sisi positif bagi orang luar, bisa dimengerti. Karena dulunya kawasan Depok Lama merupakan kawasan khusus yang dibangun oleh saudagar Belanda eks VOC, bernama Cornelis Chastelein, pada akhir abad ke-17 (ada yang mengatakan pada tanggal 18 Mei 1696, ada juga pada tanggal 13 Maret 1675).

Mengutip www.soedira.com, adapun tanah Depok di beli dengan harga 700 ringgit, dan status tanah itu adalah tanah partikelir atau terlepas dari kekuasaan Hindia Belanda.

Untuk memelihara tanah yang subur, dengan sawah yang menghampar luas diperlukan tenaga kerja. Maka Chastelein membeli pekerja-pekerja yang berjumlah sekitar 150 orang dari berbagai daerah di Indonesia. Ada dari Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan dari Betawi. Ada juga yang mengatakan umumnya para pekerja itu juga berasal dari Maluku Tenggara. Namun sayang sekali data persis mengenai asal muasal pekerja ini tidak diketahui.

Sejak itulah Cornelis Chastelein menjadi tuan tanah, yang kemudian menjadikan Depok memiliki pemerintahan sendiri, lepas dari pengaruh dan campur tangan dari luar.

Daerah otonomi Chastelein ini dikenal dengan sebutan Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok. Ternyata pemerintah Belanda di Batavia menyetujui pemerintahan Chastelein ini, dan menjadikannya sebagai kepala negara Depok yang pertama.

Sebelum Chastelein meninggal pada tanggal 28 Juni 1714, ia sudah mempersiapkan sebuah surat wasiat yang isinya memerdekakan seluruh pekerja beserta keluarganya. Ia juga membuat para pekerja-pekerja untuk menganut agama Kristen Protestan dan setiap kepala keluarga diminta untuk memakai nama-nama sebagai berikut: Soedira, Leander, Laurens, Jonathans, Loen, Tholense, Samuel, Joseph, Bacas, Jacob, Izakh, dan Zadokh.

Id.m.wikipedia.org menjelaskan, menurut Renold Joseph, di zaman pendudukan Belanda di Depok mayoritas penghuninya merupakan ke-12 marga, penerima hak waris dari Cornelis Chastelein.

Ketua Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) Valentino Jonathans menimpali, garis keturunan orang Depok asli ialah patrilineal, dalam artian marga turun dari laki-laki. Oleh karena itu, satu marga yang hilang dikarenakan tidak mendapati kembali keturunan laki-laki.

Dr. van Fraassen, seorang antropolog dan guru besar di Universitas Leiden, menjelaskan terdapat kemungkinan yang besar bahwa nama-nama tersebut adalah nama tambahan baptisan mereka yang baru berdasarkan rekomendasi Cornelis Chastelein, setelah mereka menganut agama Kristen dan dituju sebagai para calon penerima hak waris dari Cornelis Chastelein.

Sayangnya, kini hanya tersisa sebelas marga saja karena marga Zadokh telah habis. Hal ini karena keturunan penerusnya kebanyakan adalah perempuan. Nama-nama ke-11 marga asli Depok yang tersisa saat ini terpatri di pintu Gereja Immanuel, Depok.

  • Tulisan yang sama pernah dirilis tahun 2015 lalu
Share:
Komentar

Berita Terkini