Semua orang sukses pasti punya kisah hidup tersendiri. Tidak instan. Bukan seperti membalik telapak tangan. Namun punya proses dan lika liku. Suka duka, susah senang dilalui.
Hal itu pun dialami dr Thomas Harry Adoe SpA.K yang akrab disapa Thomy. Pria kelahiran Ambon 7 Maret 1960 ini adalah anak dari pasangan Yohanis Adoe dan Helena Adoe. Ia beristrikan Susan Kairipan dan memiliki tiga anak.
Usai menamatkan pendidikan di SMA Negeri 2 Ambon tahun 1979. Thomy muda bercita-cita menjadi seorang perwira militer. Untuk itu, ia mencoba ikut tes calon taruna Akabri waktu itu.
“Beta ikut tes Akabri. Lulus beberapa tahap. Sayangnya di tahap akhir (Pantuhir) gagal. Keinginan jadi perwira militer pun tidak kesampaian,” ungkap dokter Thomy.
Kegagalan menjadi taruna Akabri. Tidak membuat Thomy patah semangat. Ia tetap berkeinginan untuk coba lanjut pendidikan di luar Maluku. Namun orang tuanya meminta dia untuk masuk Fakultas Teknik Unpatti Ambon.
Karena keinginan orang tua. Thomy pun ikut test sebagai mahasiswa Fatek Unpatti dan dinyatakan lulus. Ia bahkan sudah sempat pergi mendaftar di kampus Poka. Namun keinginan untuk merantau dan menempuh pendidikan di luar daerah tetap membara. Ia lantas berpikir kalau ikut kemauan orang tua, maka niat nya sekolah di tanah rantau tak kesampaian.
Thomy lantas mengambil langkah tak terduga. Bahkan cukup aneh. Karena sudah lulus jadi mahasiswa Unpatti dan mendaftar. Tetapi tanpa diketahui orang tuanya, ia menarik kembali uang pendaftaran secara diam-diam.
Lantas untuk apa uang itu ? “Uang pendaftaran itu beta tarik kembali dari panitia di Unpatti. Waktu itu Rektor nya pak Doktor Lawalata masih family kami. Uang nya beta pakai untuk bekal “lari kapal” dengan KM Sangihe ke Ujungpandang (sekarang Makassar),” cerita Thomy, sambil tertawa kepada satumaluku.id via telepon selulernya, Senin (22/3/2021).
Dikisahkan, saat itu KM Sangihe akan berlayar ke Makassar dari Pelabuhan Ambon pukul 17.00 WIT atau jam lima sore. Karena itu, sejak siang hari ia sudah mengambil beberapa pakaian dimasukan dalam rangsel dan pergi ke pelabuhan untuk rencana “lari kapal”.
Tetapi rencananya itu nyaris batal. Pasalnya, kapal yang semula jadwal berangkat jam lima sore molor hingga pukul 20.00 WIT atau pukul delapan malam. Karena molor berangkat, pada sore hari papa nya pulang kerja dan menanyakan keberadaannya. Orang di rumah tidak ada yang tahu.
Lantaran tidak ada yang tahu Thomy dimana. Papa nya coba cek di lingkungan tempat tinggal dari tetangga dan teman-temannya. Akhirnya didapat informasi bahwa Thomy sudah berada di pelabuhan untuk mau “lari kapal”.
“Setelah tahu informasi beta mau lari kapal. Papa lantas ke pelabuhan. Beliau cari beta dan ketemu. Papa menasehati dan menegur beta. Namun beta sampaikan niat untuk merantau. Papa akhirnya tidak melarang. Tetapi bilang tidak usah lari kapal, namun berangkat saja baik-baik. Dan harus beri tahu orang tua, jangan menghilang begitu saja. Beta bersyukur dan akhirnya lega,” tutur Thomy, mengenang.
Dari pertemuan dengan papa nya di pelabuhan. Thomy semakin termotivasi untuk menempuh pendidikan di tanah rantau. Akhirnya ia pun tiba di kota Ujungpandang (sekarang Makassar). Di kota daeng tersebut, Thomy muda memulai perjuangan hidup untuk mewujudkan niatnya agar tidak kecewakan kedua orang tuanya.
Selama hampir satu tahun Thomy berjuang, bekerja keras, meski tak punya fasilitas dan jauh dari orang tua. Ia masuk keluar satu toko buku ke toko buku lainnya, hanya untuk membaca gratis. Begitu pula dilakukan pada beberapa bimbingan belajar. Semua ia lakukan dengan trik nya untuk tidak membayar sekalian berhemat.
“Itu semangat yang tertanjap dalam jiwa harus bisa meski tak punya fasilitas. Bukan hal susah untuk berjalan atau bersepeda pinjam dari pagi dan sore untuk cari tahu ilmu di toko buku dan bimbingan belajar. Itulah perjuangan beta,” beber Thomy.
Setahun kemudian pada 1980, Thomy ikut ujian seleksi mahasiswa baru di Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar. Kerja keras dan perjuangannya membuahkan hasil. Ia dinyatakan lulus sebagai mahasiswa Unhas. “Puji syukur. Beta lulus dan tidak kecewakan orang tua,” ujarnya.
Selama enam bulan awal, Thomy menjalani kuliah secara umum. Belum ada keputusan penetapan fakultas bagi minat mahasiswa sesuai sistem saat itu. Ia tetap berjuang dan terus belajar. Karena tidak punya fasilitas dan tak mau bebani orang tua. Thomy tak segan untuk berjalan kaki saat pulang kuliah. Atau pun menginap dan makan di keluarga atau kenalan orang Ambon yang berada di Makassar.
Thomy kemudian dinyatakan sebagai mahasiswa kedokteran. Ia jalani dengan semangat. Bahkan kalau tak punya uang, ia tak segan pulang kuliah berjalan kaki sekitar 5 kilometer ke tempat tinggalnya. Saat itu uang pendaftaran di FK Unhas hanya Rp 107 ribu. Thomy terus berjuang bertahan perlahan namun tak putus asa. Masa-masa sulit dan kerja keras akhirnya membuahkan hasil. Ia dinyatakan lulus dan diwisudakan sebagai dokter pada Maret 1989. “Beta bersyukur. Perjuangan dan kerja keras untuk jadi dokter terwujud,” ungkapnya.
Thomy kemudian ditempatkan bertugas ke Timor Timur dari tahun 1990 hingga 1992. Setelah itu tugas ke kota asalnya Ambon tepatnya di RSUD Dr Haulusy. Lantas melanjutkan pendidikan spesialis anak 1 di FK Unhas. Pada tahun 1993 setelah lulus spesialis anak sampai 1999, ia bertugas ke Kabupaten Berau Kalimantan Timur hingga 2008 dan kembali melanjutkan pendidikan spesialis 2 bidang neonatologi di FK Universitas Indonesia (UI) lulus tahun 2015. Kemudian Thomy bertugas di RSUD kota Bekasi Jawa Barat.
Ada kisah saat dirinya ingin mengabdi lagi di Ambon. Tetapi temui banyak tantangan sehingga akhirnya tenaga Thomy diberdayakan di RSUD kota Bekasi sebagai Kepala Neonatologi yang saat itu Unit ini tidak ada bahkan menjadi tempat kesakitan dan kematian bayi baru lahir.
Padahal, menurutnya, membangun unit pelayanan neonatus yang lengkap menjadi tujuan dirinya setelah lulus pendidikan Spesialis 2 di FK UI yaitu di RSUD Ambon namun terkandas karena diakuinya kurang pintar melobbi pejabat. Ahirnya ia bertemu dengan Walikota Bekasi Dr H. Rahmat Efendi yang saat itu masih sebagai Wakil Walikota sehingga semua bisa berjalan sesuai harapannya.
“Itulah kisahnya beta mengabdi di Bekasi. Sehingga dari rumah sakit tanpa pelayanan NICU menjadi ada dan tidak saja basic tapi edvance yang terlaksana dalam 11 tahun. “Kisah suka duka membangun pelayanan NICU perlu totalitas jiwa satria dokter, perawat, direktur dan pimpinan daerah untuk membawa bayi prematur menjadi sumber daya yang hebat terhindar dari masalah kesehatan baik mayor maupun minor,” jelasnya.
Dokter yang berpangkat golongan IV/D itu kini punya jabatan resmi sebagai Kepala Instalasi Neonatologi (NICU dan Special Care Nurse) RSUD kota Bekasi Jabar. Dalam perjalanan kariernya, Thomy pernah jadi Dokter Teladan propinsi Timor Timur (sekarang negara Timor Leste). Juga sebagai dokter pendamping capasity building pelayanan neonatus di Nabire, Biak dan Manokwari.
Ia mengakui, meski saat ini mengabdi di daerah lain, namun dirinya tetap membantu membangun Maluku dengan banyak cara. “Biar beta berada di luar. Namun tetap peduli untuk bangun Maluku, baik langsung maupun tidak langsung. Maluku harus maju khususnya di bidang kesehatan terutama pada pelayanan anak yang lahir prematur sehingga mereka tetap menjadi sumber daya. Bukan jadi beban untuk orang tua nya. Itu keinginan beta,” tuturnya.
Dari kisah dokter Thomy ini, bermakna bahwa kegagalan awal bukanlah halangan untuk tetap mewujudkan impian. Seharusnya kegagalan menjadi motivasi untuk terus berjuang, kerja keras dan motivasi guna mewujudkan masa depan. “Itu semua dari niat. Karena tidak ada kesuksesan yang mudah diraih. Semuanya butuh waktu dan proses,” tambahnya.
Salut dan teruslah toma maju dokter Thomy. Nyong Ambon yang spesialis berdayakan anak-anak lahir prematur. Tete Manis memberkatimu. (novi pinontoan)