![]() |
Dr Indira Ismail S.S MA |
SATUMALUKU.ID - Nama lengkapnya Dr Indira Ismail S.S MA. Ia kini menjabat sebagai Ketua Program Studi (Prodi) Belanda Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI).
Perempuan kelahiran Ambon 27 November 1975 ini, meraih gelar sarjana (S1) Program Studi Belanda, Fakultas Sastra UI tahun 2000.
Yang menariknya Prodi tersebut awalnya merupakan studi yang masih langka pada perguruan tinggi di Indonesia.
Lantas apa yang menarik Indira berkuliah disitu? "Dulu alasannya karena Sastra Belanda UI adalah jurusan langka. Satu-satunya di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Itu yang bikin saya tertarik," ujar Indira, saat dihubungi pada Senin (23/6/2025).
Setelah lulus sarjana tahun 2000, pada tahun 2005 ia selesaikan studi S2 atau Magister di Literatuurwetenschap, Faculteit der Letteren Universiteit Utrecht, Belanda.
Indira yang sempat bersekolah di SMA Negeri 2 Ambon sampai kelas dua, lalu lanjut ke SMA 34 Jakarta ini, akhirnya selesaikan studi S3 atau Doktor pada tahun 2023 di FIB UI.
Menariknya disertasi S3 nya adalah tentang keberadaan orang-orang Maluku yang eksodus ke Belanda di awal kemerdekaan yang berjudul "Artikulasi Diaspora Maluku Antar Generasi di Belanda".
[cut]
Indira lantas sampaikan alasan mengapa dia fokus studi S3 nya soal Diaspora Maluku di Belanda.
"Karena saya rasa menarik untuk tahu lebih jauh mengenai sejarah keberadaan mereka di Belanda dan bagaimana cara mereka menyelesaikan trauma kelompok. Di banyak buku-buku sejarah dibahas hanya sampai keberangkatan mereka ke Belanda dan seringkali dulu mereka disebut sebagai antek-antek Belanda," ungkapnya, yang bersuamikan Nugroho S.W dan miliki tiga anak.
Namun, lanjut Indira, ada sisi lain kehidupan mereka (orang Maluku) yang ia merasa menarik untuk diangkat atau dibahas, yang tidak banyak orang tahu.
Menurut putri dari pasangan Irawan Ismail (asal Madura) dan Frieda Junk berdarah Jerman dan Luhu-Seram Barat, Maluku), bahasa Belanda sampai kini masih diperlukan di Indonesia.
Mengapa? Karena penguasaan bahasa Belanda dibutuhkan pada bidang-bidang tertentu. Seperti di perguruan tinggi (jurusan Sejarah dan Hukum), pariwisata, budaya dan terutama dalam konteks kesejarahan (penggalian informasi pada arsip-arsip kolonial).
"Namun sayangnya, tidak banyak dari peneliti di Indonesia yang menguasai bahasa Belanda. Ini menjadi penghalang besar pada akses dan penguasaan mengenai sumber primer (kemungkinan adanya distorsi makna)," tutur anak ke-5 dari 8 bersaudara ini.
Jadi, lanjut Indira, dari sisi kesejarahan, penguasaan bahasa Belanda diperlukan antara lain untuk membongkar warisan kolonial secara kritis, menghindari narasi sejarah yang sampai kini kebanyakan didominasi oleh sudut pandang kolonial dan membuka keran rekonstruksi sejarah dari perspektif lokal.
[cut]
Figur Indira ini, bukan saja sebagai dosen di FIB UI. Ia juga adalah peneliti dan penerjemah Belanda-Indonesia.
Beberapa karya terjemahannya antara lain: Aku dan Orang Sakuddei; menjaga jiwa di jiwa Mentawai (judul asli Wees goed voor je ziel). Penulis Reimar Schefoid. Penerbit Buku Kompas, 2014.
Sang Juragan Teh (judul aslu Heren van de thee). Penulis Hella S. Haasse. Gramedia Pustaka Utama, 2015.
Oeroeg (judul asli Oeroeg). Penulis Hella S. Haasse. Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Kini Indira sedang melakukan penelitian tentang bagaimana status dan pengembangan bahasa Belanda di Indonesia. Penelitian ini bekerjasama dengan Erasmus Training Centre (Jakarta) dan didukung de Nederlandse.Taalunie (organisasi antar pemerintah Belanda-Belgia), Flandria (Suriname) yang bertugas mengatur, mengembangkan dan mempromosikan Bahasa Belanda di seluruh dunia.
Penelitian itu dilakukan di wilayah Jawa, Medan, Makassar dan Ambon. "Saya mewakili UI bersama Fons van Oosterhout (Direktur Erasmus Training Centre) menjadi peneliti pada proyek ini," kata Indira.
Akhirnya, teruslah berkarya, mengabdi dan sukses terus ke depan demi almamater dan negeri tercinta. (NP)