HUT ke-86, GPM Telah Lalui Banyak Sejarah dan Badai Tantangan

Share:

satumalukuID – Hari ini, Senin 6 September 2021, Gereja Protestan Maluku (GPM) telah berusia 86 tahun. Ini terjadi setelah pada tahun 1935, GPM berdiri sebagai gereja yang mandiri dalam bidang konfesi, liturgi dan keuangan.

GPM terlepas dari gereja di masa pemerintahan Hindia Belanda yang dilayani oleh Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dan Nederlandsch Zendeling Genotschaap (NZG) dan daerah pelayanannya telah meliputi hampir seluruh Maluku (termasuk Maluku Utara).

Dalam perjalanannya hingga kini, GPM telah lalui banyak lintasan sejarah yang panjang dan “badai” tantangan pelayanan pada beberapa era yang sulit.

Situasi dan kondisi tantangan itu, mulai dari masa penjajahan, perang dunia kedua, pemberontakan RMS, peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru, konflik horizontal umat beragama hingga orde reformasi dan era demokratisasi serta digitalisasi hingga terkini “badai” pandemi Covid 19.

“Lagi-lagi itu karena Tuhan bekerja secara nyata dalam hidup semua umat,” ungkap Ketua Sinode GPM, Pdt Elifas T. Maspaitela MSi dalam pesannya, Sabtu (4/9/2021).

Terkait dengan itu, selaras dengan tema HUT 86 GPM, “Bersyukur atas kebajikan dan kemurahan Tuhan, Gembala yang baik” (Mazmur 23:1-6).

Menurutnya, sejarah Gereja Protestan Maluku (GPM) selalu menceritakan bahwa kita membawa suara Injil yang membebaskan dan memanusiakan, karena 6 September 1935 menjadi tonggak iman untuk memproklamasikan kebebasan dalam bentuk keterlepasan dari dominasi pemerintah Hindia Belanda.

Suatu spirit keagamaan yang menunjukkan bahwa orang percaya hanya bergantung kepada Tuhan dan hidup dari berkat Tuhan.

Itulah sebabnya dalam tiap babakan sejarahnya, GPM selalu bermisi di tengah masyarakat, bangsa dan di tengah dunia, karena itu pula di alam semesta pemberian Tuhan ini.

Kita sadar bahwa dalam masalah yang berat sekalipun, baik internal, seperti pada 1960 di mana lahirnya Pesan Tobat GPM, atau dalam hiruk pikuk di tengah bangsa, pada 1950 atau 1999, GPM tetap pada pendiriannya menjadi gereja yang menghadirkan pembebasan dan perdamaian.

Malah bertubi-tubi kita dihantam bencana alam sampai pada pandemi covid-19, GPM tetap menjadi gereja dengan berusaha hadir lebih dahulu dan selalu hadir untuk mencerahkan pemahaman umat, menumbuhkan harapan, memulihkan kondisi hidup individu dan sosial, dan memastikan bahwa Tuhan ada dan tetap bekerja di dalam dan melalui gerejaNya.

Semua itu terjadi dan kita lakukan karena yakin, Tuhan selalu menunjukkan kebajikan dan kemurahan hatiNya kepada kita, karena Ia tetap menemukan kita sebagai gerejaNya dan memakai kita untuk menuntun semua dombaNya.

Sebagaimana diketahui, salah satu momen “badai” yang dialami GPM, adalah ketika perang dunia kedua antara sekutu dan Jepang sehingga kota Ambon dibombardir bom serta pertempuran memberantas gerakan RMS oleh TNI, akibatnya gereja pusat pertama atau Protestant Kerk di jalan A.Y. Patty terbakar dan hancur.

Lantaran itu, Presiden pertama RI Ir Soekarno membangun gereja pusat pengganti dan memindahkan ke lokasi saat ini di jalan Pattimura.

Peletakan batu pertama pembangunannya oleh Presiden Soekarno pada 6 September 1952 serta diresmikan dan digunakan pertama kali tanggal 9 Mei 1954. Kemudian direnovasinya lagi menghabiskan APBD Maluku tahun 2012 dan 2013 sebesar Rp 9,47 miliar di masa Gubernur Maluku, Karel Ralahalu.

SEJARAH SINGKAT GPM

Untuk diketahui, GPM merupakan salah satu gereja di Indonesia yang beraliran Protestan Reformasi atau Calvinis. GPM berdiri di Ambon pada 6 September 1935. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai hari kelahirannya. GPM memandirikan dirinya dari Gereja Protestan di Indonesia (GPI) atau Indische Kerk dan Nederlandsch Zendeling Genotschaap (NZG) sebagai bentuk kemandirian gereja.

Cikal bakal lahrnya GPM memiliki sejarah sangat panjang sesuai berbagai sumber referensi. Secara singkat, diawali pada 27 Februari 1605, GPM berawal dari ibadah perdana Gereja Protestan Calvinis dari orang-orang Belanda, pegawai VOC di Ambon.

Pada tahun 1622, Majelis Jemaat Indische Kerk dibentuk pula di Banda setelah 1621 didirikan di Batavia (Jakarta), yang berdampak aktivitas penginjilan di wilayah Maluku pun mulai kian marak dan intens dilakukan, khususnya melalui peran Pendeta Adriaan Hulsebos, yang telah berupaya membuat pelayanan ke Ambon namun kapalnya tenggelam di Teluk Ambon, dia meninggal.

Misinya dilanjutkan oleh Pendeta Rosskot (yang selanjutnya pula berperan dalam menyelenggarakan Pendidikan Teologi pertama di Ambon, Maluku maupun Indonesia).

Tahun 1799:, setelah VOC dibubarkan, maka ada sejumlah jemaat di Indonesia yang telantar, termasuk beberapa jemaat di Ambon.

Pada masa tahun 1815-1833: Joseph Kam diutus ke Maluku oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG). Kemudian tahun 1871, Joseph Kam mendata jemaat-jemaat di Ambon

Tahun 1930, gereja terus berkembang pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang dilayani oleh Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dan Nederlandsch Zendeling Genotschaap (NZG) dan daerah pelayanannya telah meliputi hampir seluruh Maluku.

Akhirnya tahun 1935, tepatnya tanggal 6 September: GPM berdiri sebagai gereja yang mandiri dalam bidang konfesi, liturgi dan keuangan

Di tahun 1950, terjadi penumpasan RMS oleh TNI di Kota Ambon dan wilayah Pulau Seram yang mengakibatkan banyaknya gedung gereja ikut terbakar.

Dan pada tanggal 25 Mei 1950, GPM menjadi anggota PGI (dulu DGI). Wilayah pelayanannya mencakup Provinsi Maluku dan Maluku Utara. (novi pinontoan)

Share:
Komentar

Berita Terkini