Antara Palestrina dan Ambon

Share:

Sebuah kota kuno berukuran kecil terletak di atas bukit dengan jarak kurang lebih 35 Km dari timur Roma. Bangunan Kuil Santuario Oracolare della Fortuna Primigenia masih terlihat dengan jelas meskipun kota ini sempat dijatuhi bom pada Perang Dunia II. Kota itu bernama Palestrina!

Santuario Oracolare della Fortuna Primigenia adalah satu diantara sekian banyak daya tarik wisata di kota ini. Daya tarik lain adalah Museo Archeologico Nazionale (museum), Cattedrale di Sant’Agapito (bangunan gereja), Chiesa e convento di San Francesco (gereja dan biara), dan Antro delle Sorti (reruntuhan kuno).

Palestrina, The Prince of Music

Meskipun kecil, “Palestrina” terkenal di kalangan pemusik paduan suara, khususnya mereka yang mempelajari musik jaman renaissance maupun musik polifoni dan musik kontra terlebih musik liturgi.

Kata “Palestrina” yang dimaksud bukanlah merujuk kepada nama kota atau nama tempat, tapi lebih merujuk kepada salah seorang komponis ternama pada jaman renaissance yakni Giovanni Pierluigi da Palestrina (1525-1594) – The Prince of Music. Ia tergolong kaum awam (bukan seorang pastor – Imam dalam Gereja Katolik Roma) dan merupakan komponis yang paling berjasa dalam perkembangan Musik Liturgi Gereja Katolik.

Sepanjang hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 105 missa (missa pada jaman renaissance terdiri dari Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus/Benedictus, dan Agnus Dei) dan lebih dari 250 motet. Salah satu karya missa yang paling terkenal adalah Missa Papae Marcelli.

Untuk menghormati dan mengenang jasa Giovanni, di Kota Palestrina didirikan Statua di Giovanni Pierluigri da Palestrina (Patung Giovanni) dan tempat kelahirannya dijadikan sebagai Museo Casa Natale – Giovanni Pierluigri da Palestrina (Museum Tempat Lahir Giovanni). Dua lokasi ini menjadi daya tarik wisata lainnya di Kota Palestrina selain daya tarik yang telah disebut sebelumnya.

Museo Casa Natale – Giovanni Pierluigi da Palestrina merupakan kediaman Giovanni. Bangunan yang berasal dari abad keenambelas sempat direstorasi oleh Ministero dei Beni Culturali ed Ambientali – Soprintendenza ai Beni Storici ed Artistici (arch. Pentrella) (Kementerian Warisan Budaya dan Lingkungan) dan diserahkan kepada Yayasan Giovanni Pierluigi da Palestrina pada tahun 1994.

Museum ini memiliki beragam koleksi diantaranya gambar ilustrasi pekerjaan Palestrina, lukisan dinding, mendali, keramik, furnitur dari abad 17, dan yang paling penting adalah terdapat tulisan tangan dan cetakan hasil karya dari Palestrina. Selain itu terdapat Biblioteca Pierluigi (perpustakaan) dimana tersedia 8.445 katalog bibliografi, 316 diantaranya merupakan koleksi kuno-langkah (terbitan 1500-1800).

Nama besar Palestrina dan karya dengan ciri khas tertentu yang telah ia hasilkan selama masa hidupnya menjadi “kekayaan” yang disimpan dan dipelihara serta dijadikan sebagai salah satu daya tarik kunjungan wisatawan ke kota Pelestrina.

Selain Palestrina, terdapat komponis-komponis terkenal lain yang hasil karya nya dipelihara dan dijadikan sebagai daya tarik wisata, misalnya Toscanini (Museo Casa Natale Arturo Toscanini-Parma), Handel (Handel & Hendrisx-London), Bach (Bach Museum-Leipzig), Mozart (Mozart Museum-Salzburg), dan Museum W. R. Soepratman (Surabaya) yang diresmikan pada tahun 2018.

Melihat Kembali Karya Tamaela

Kota Ambon memiliki beberapa komponis dan arranger paduan suara yang hasil karyanya telah dikenal di tingkat nasional bahkan telah mendunia. Sebut saja Christian Izaac Tamaela (Alm.), Branckly E. Picanussa, Henry M. Sopaheluwakan, Igor L. Sopamena, Ronny Loppies, dan Deetje Matulapelwa. Nama-nama lain masih belum disebutkan dalam tulisan ini.

Diantara komponis-arranger yang ada, Christian Izaac Tamaela (Alm.) menjadi sosok yang hasil karyanya memiliki kekhasan tersendiri yang (dapat dikatakan) terinspirasi dari kondisi lingkungan alam-sosial-budaya setempat; dan sudah tentu berbeda dibandingkan dengan karya komponis Barat (dataran Eropa dari jaman renaissance, baroque, classical, romantic, dan modern) yang mendominasi panggung pementasan paduan suara.

Kekhasan musik jaman renaissance tampak pada karya dari Giovanni Pierluigi da Palestrina. Kekhasan musik jaman baroque tampak pada karya Johann S. Bach dan G. F. Handel. Kekhasan musik jaman klasik tampak pada karya W. A. Mozart, Ludwig van Beethoven, dan Joseph Haydn. Kekhasan musik jaman romantic tampak pada karya Frans Schubert, Felix Mandelssohn. Kekhasan musik jaman moden tampak pada karya Morten Lauridsen, John Rutter, Eric Whitacre, Ola Gjilo, dan Ily Matthew Maniano, komponis-komponis modern lainnya.

Pendeta Tamaela menghasilkan karya dalam jumlah yang tidak sedikit. Karya yang meliputi komposisi paduan suara dan komposisi musik dari batu (musik batu kreatif), kayu, bambu, dan lain sebagainya. Melalui karya kreatif yang dihasilkan, secara tidak langsung beliau telah mengangkat budaya-tradisi Maluku dan memperkenalkannya ke masyarakat umum.

Kekhasan inilah yang patut untuk dirawat, dilestasikan, dipelajari dan dikembangkan; menjadi periode (aliran musik) yang dikembangkan berdasarkan kearifan lokal dan menempatkan Pendeta Tamaela sebagai salah satu komponis perintis.

Menjadikan Karya Sebagai Daya Tarik

Apa yang telah dihasilkan oleh para seniman selama masa hidup merupakan “kekayaan” yang bernilai setelah mereka tiada. Pendokumentasian karya musik Pendeta Tamaela dan komponis-arranger lain yang berasal dari Provinsi Maluku, khususnya Kota Ambon menjadi hal yang patut untuk dilakukan sebagai bentuk pelestarian dan penghormatan atas karya dan jasa yang dilakukan. Apalagi status Kota Ambon sebagai City of Music.

Hal lain yang dilestarikan selain karya yakni ruang kerja, alat-alat yang digunakan selama hidup, tempat kelahiran, penghargaan yang diperoleh, foto terkait, tulisan tangan, penggalan cerita dan hal terkait lainnya; yang dapat “menghidupkan” kembali sosok seniman ketika orang melihat atau mendengar hal tersebut. Seperti yang tampak pada Museo Casa Natale – Giovanni Pierluigi da Palestrina dan beberapa tempat lainnya yang disebut sebelumnya.

Di sisi lain, praktek terbaik terkait pendokumentasian karya musik lokal di Indonesia dapat dijumpai di Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta. Pendirian PML pada tahun 1971 diinisiasi dua tokoh musik di Indonesia yakni Paul Widyawan (Alm.) dan Romo Karl-Edmund Prier SJ.

Berbagai karya musik lokal dari Sabang sampai Merauke dapat dijumpai di PML. Dari komposisi yang telah ada sejak dulu (lagu rakyat) maupun karya komposisi terbaru yang dihasilkan dari workshop. Selain karya musik, di PML juga tersedia alat musik tradisional. Karya musik dan alat musik yang tersedia dapat dibeli (”dikonsumsi”) oleh pengunjung. Tak sebatas itu, PML juga secara rutin mementaskan karya-karya tersebut dalam dua kali setahun dengan tema yang berbeda.

Dari apa yang telah ditulis sebelumnya, Kota Ambon dapat belajar dari Kota Palestrina, dan kota-kota lainnya yang telah melestarikan, merawat, dan memberikan penghargaan kepada komponis yang telah memperkenalkan kearifan lokal melalui karya mereka; dan bahkan karya telah memberikan warna baru yang memperkaya musik dunia. Semoga karya Pendeta Tamaela dan komponis-arranger lain di Kota Ambon tetap hidup di Kota Musik ini.

Penulis: August Johannes Ricolat Ufie, adalah dosen pada Jurusan Administrasi Niaga – Politeknik Negeri Ambon

 

Share:
Komentar

Berita Terkini