Ini Alasan Sejumlah Anggota DPRD Menolak Ranperda Kota Ambon 2021

Share:

satumalukuID- Meski Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kota Ambon Tahun 2021 telah diterima seluruh fraksi di DPRD Kota Ambon, Sabtu (28/11/2020), namun ada sejumlah anggota dewan yang mengaku secara pribadi menolaknya.

Enam anggota DPRD Kota Ambon itu terlihat tidak mengikuti penyampaian kata akhir fraksi terkait Ranperda yang berlangsung di ruang rapat paripurna DPRD, Kota Ambon sejak pukul 11.13 WIT, Sabtu kemarin.

Informasi yang diterima satumaluku.id menyebutkan, sebelum penyampaian akhir fraksi berlangsung, sempat terjadi perdebatan hangat antara sesama anggota DPRD Ambon.

“Tadi dong bakumalawang (sejumlah anggota DPRD bertengkar) dengan Ketua DPRD. Makanya ada yang seng (tidak) ikut rapat,” kata sumber kepada satumaluku.id yang tiba paska berakhirnya pertengkaran tersebut di Kantor DPRD Ambon, Sabtu (28/11/2020).

Sejumlah anggota DPRD Ambon yang menolak dan tidak ikut penyampaian kata akhir fraksi terkait Ranperda yaitu Hari Putra Far far, Johan van Capelle, Patrik Moenandar, Gunawan Moktar, Yuliana Pattipelohy, dan Suhendy Hursepuni.

“Kita merasa pimpinan mengambil kebijakan tidak pernah memanggil kita untuk rapat internal, agar membahas masalah di internal DPRD,” kata Gunawan Moktar kepada wartawan.

Gunawan mengaku berbagai keputusan diambil sepihak oleh pimpinan DPRD. Selain itu, mereka mengaku tidak pernah dilakukan rapat internal. Padahal permasalahan internal DPRD diakui sangat banyak.

“Jangan ambil keputusan seakan-akan itu memaksakan. Contohnya katong (kami) bahas RKA hanya dua hari, bayangkan. Katong rapat Banggar sudah mau dekat Jumat diskorsing, dan langsung masuk di penyerasi. Harusnya sampai tuntas baru katong masuk di penerasi. Habis salat beta kaget, tiba-tiba sudah masuk di penyerasi,” ungkapnya.

Dia mengatakan, masih banyak pertanyaan yang harus dilontarkan kepada Sekretaris Kota (Sekot) Ambon A.G. Latuheru selaku ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Bahas Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-PPKD), Sekot tidak hadir. Beliau juga Plt Bappeda.

“Waktu bahas Banggar, Pak Sekot tidak hadir. Maksudnya ini apa? Seakan-akan dong seng (mereka tidak) menghargai katong DPRD. Harusnya katong bahas RKA Pimpinan OPD harus hadir tidak boleh ada perwakilan,” tegasnya.

Dong biking katong DPRD ini seperti katong pung marwah sudah hilang. Lalu pimpinan ambil keputusan secara sepihak saja. Setiap bahas hanya ketua komisi, lalu katong ini apa? Katong ini topeng monyet? Harusnya katong dilibatkan dalam mengambil keputusan. Karena katong punya fungsi budgeting dan pengawasan di dalam,” tambah Gunawan.

Bahas RKA, Banggar, menurut Gunawan, Wali Kota tidak pernah hadir dengan alasan Covid. Tapi kenapa saat pengukuhan Warga Kehormatan hadir bersama Sekot.

“Lalu anggaran Covid Rp.53 miliar selama bulan Oktober itu peruntukannya seperti apa? Lalu terjadi devisit, lalu uang refocusing itu dipakai untuk apa? Sampai Kota Ambon bisa mengalami devisit. Katong punya tugas dan fungsi yang sama tidak ada atasan dan bawahan. Pimpinan cuma bisa atur katorang, tapi tidak bisa memaksakan katong pung kehendak,” tuturnya.

Di tempat yang sama, Hari Putra Far-Far menambahkan, penyampaian kata akhir fraksi merupakan sebuah kesalahan untuk diteruskan. Sebab, pembahasan Ranperda dilaksanakan tidak tuntas. Apalagi mengenai angka-angka.

“Pada saat pembahasan KUA, itu kan berbeda dengan RAPDS kan. Ada selisih sekitar Rp.12 miliar. Dan kita harus kawal. Beta merasa proses pembahasan di komisi itu didesak supaya cepat selesai. Kita dikasih waktu cuma 2 hari. Contohnya pada komisi 3, ada dua OPD yakni Lingkungan Hidup dan Bagian Umum yang dijadwalkan untuk pembahasan kembali, tetapi tidak dibahas. Dan tidak ada penjelasan dari pimpinan komisi kepada kami anggota-anggota komisi 3. Ini ada apa?” tanya dia.

Mereka, lanjut Hari, merasa kecewa. Sebab harus dicatat, peristiwa ini sudah jadi kebiasaan oleh eksekutif (Pemerintah) terkait dengan perbedaan angka-angka yang sudah ditetapkan.

“KUA PPS yang sudah ditetapkan dengan nota kesepakatan antara eksekutif dan legislatif, ternyata pada pidato resmi Wali Kota Ambon itu berbeda. Ada selisih yang hampir Rp.12 miliar. Ini ada apa?” tanya dia lagi.

Hari menduga hal tersebut bukan lagi indikasi, tetapi sudah menjadi fakta bahwa ada dititipkan dana siluman yang masuk di situ (proses pembahasan APBD).

“Mengenai mekanisme pembahasan kami hanya diberikan waktu 2 hari untuk pembahasan RKA untuk menetapkan APBD. Secara rasional ini kan tidak masuk akal. Ini kan nantinya ditetapkan menjadi Perda loh. Apakah perda ini hanya dibahas dalam waktu 2 hari? Dokumen-dokumen dari eksekutif ke kita juga terlambat. Ini ada apa?,” sesalnya.

Share:
Komentar

Berita Terkini