Video Conference, Akuntabilitas Publik Lembaga Kemanusiaan Belanda yang Bantu Pengungsi Maluku

Share:

satumalukuID – Di penghujung Januari 2020 ada sebuah momen yang bagi saya cukup menarik terkait penanganan pasca gempabumi. Bukan karena saya selaku Pemimpin Redaksi satumaluku.id terlibat pada acara tersebut sebagai moderator. Namun terlebih karena kegiatan yang bisa dibilang sebagai sebuah momen pertanggungjawaban publik ini, dilakukan lintas negara dalam bentuk Video Conference.

Yayasan Titane, sebuah lembaga kemanusiaan dikelola orang-orang keturunan Maluku di Negeri Belanda menggelar Video Conference. Melalui sejumlah mitranya di Ambon, lembaga ini ikut membantu penanganan pengungsi pasca gempa berkekuatan 6.8 skala richter (SR), yang mengguncang Pulau Ambon dan sejumlah daerah di Maluku, pada 26 September 2019 lalu.

Sabtu (26/1/2020) malam itu, persis di pukul 21.00 WIT, beberapa lembaga di Belanda, termasuk sejumlah perwakilan keturunan Maluku di Negeri Kincir Angin itu, dengan jumlah peserta sekira 80-an orang, ingin mendengar langsung dari penerima manfaat (perwakilan para pengungsi), apa manfaat yang mereka terima dari aktivitas Yayasan Titane dan mitra mereka yakni Kamboti Ewang Maluku dan Humanum.

Termasuk ingin didengarkan apa saja yang sudah dilakukan Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Maluku, sejauh ini.

Selain utusan dari ketiga lembaga itu, ikut hadir perwakilan para penerima manfaat dari Negeri Liang, Negeri Waai dan Negeri Tengah-tengah di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Lalu dari Negeri Pelauw dan Negeri Haruku di Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, serta dari Negeri Hila, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.

Begitu video antara kedua lokasi terhubung, sejumlah pertanyaan lantas dilontarkan oleh audiance di negeri Belanda. Dari belasan pertanyaan, 75 persennya ternyata ditujukan kepada PMI Provinsi Maluku.

Audiance di sana merasa cukup beralasan porsi pertanyaan lebih besar diarahkan ke pihak PMI karena dua pertimbangan. Pertama, sejumlah komunitas, termasuk warga keturunan Maluku di Belanda, serta Yayasan Titane, sudah melobi atau lebih tepatnya menekan berbagai pihak di negara tersebut supaya membantu penanganan pasca gempa di Maluku.

Hasilnya terkumpul sekitar EUR 300.000, yang katanya disumbangkan ke PMI Maluku melalui Palang Merah Belanda. Pertimbangan kedua, sampai video conference itu digelar, para pihak di Belanda belum mendapat kabar progres soal uang sumbangan buat PMI Maluku ini.

SUMBANGAN BELUM TIBA

Pertanyaan-pertanyaan bertubi-tubi kepada PMI Maluku itu, langsung ditanggapi dan dijawab oleh Ketua PMI Maluku Pdt. John Ruhulessin yang ikut hadir pada video conference.

“Sampai hari ini, kami belum terima uang yang dimaksudkan saudara-saudara di Belanda itu. Sebab tidak semudah yang dipikirkan,” tegas John.

Menurut dia, jika uang sumbangan yang terkumpul lewat Palang Merah Belanda itu sudah diteruskan ke Federasi Palang Merah Internasional, maka akan diteruskan ke federasi di Jakarta. Dari federasi di Jakarta akan diteruskan ke PMI pusat di Jakarta. Barulah dari PMI Pusat diteruskan ke PMI di Maluku.

“Jadi kita harus menunggu, baik dari federasi dan juga PMI kantor Jakarta. Sampai sekarang saya belum tahu, uangnya sudah sampai di mana,” terangnya.

Menurut John, kedepan pihaknya siap untuk berdiskusi dengan federasi apa yang dibutuhkan di Maluku untuk tahun 2020. Dia memastikan berdasarkan asesmen PMI Maluku, ada empat prioritas kebutuhan. Pertama adalah sanitasi. Karena sanitasi sangat penting untuk masyarakat, terutama para pengungsi. Kedua, adalah air bersih, yang berikut adalah Mandi Cuci Kakus (MCK), dan yang lain yaitu Trauma Healing.

Terkait belum tibanya sumbangan dari Belanda ke PMI Maluku, John berharap, Palang Merah Belanda memberikan support, agar dana untuk Maluku lewat federasi itu, bisa cepat datang ke Maluku dan pihaknya bisa mengelola dana itu sesuai dengan kebutuhan yang ada.

“Jika dana itu sudah tiba di PMI Maluku, saya optimis kami bisa melakukan banyak hal. Jadi, saya kira dari PMI sudah clear ya, bahwa dana belum tiba di Maluku. PMI Maluku menunggu bantuan, dukungan, support dari Palang Merah Belanda ke Federasi kemudian federasi ke Ambon, dan kami akan memberikan laporan kepada masyarakat di Belanda,” tandasnya.

Selanjutnya, menjawab pertanyaan mengenai keputusan pemerintah untuk rumah-rumah yang rusak, entah itu rusak berat, sedang maupun ringan, John katakan, pemerintah akan membantu 1 rumah Rp. 50.000.000 untuk rusak berat. Sedangkan untuk rumah yang rusak sedang Rp. 25.000.000, dan rumah yang rusak ringan Rp.5.000.000.

“Sekarang ini pemerintah dalam proses validitasi data-data yang betul-betul fix, supaya bisa di tanggulangi,” terangnya.

John juga menanggapi tentang banyaknya informasi tentang isu tsunami di Maluku. “Saya mau bilang untuk saudara-saudara di Belanda, bahwa kita percaya kepada lembaga resmi, kita tidak percaya pada hoax. Banyak hoax di Maluku, bahwa akan terjadi tsunami ini tidak benar. Kita percaya kepada lembaga-lembaga resmi dan sampai sekarang tidak ada teknologi yang bisa menjelaskan bahwa besok akan terjadi tsunami,” papar John.

Meski begitu, dia tidak memungkiri, bahwa masyarakat memang masih trauma. Itu sebabnya, di malam hari ada warga yang biasanya keluar dari rumah tinggal di kamp-kamp pengungsian. Besoknya mereka kembali lagi ke rumah.

“Ini hanya karena trauma. Tetapi kita selalu berusaha untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat agar masyarakat tidak percaya kepada hoax. Masyarakat harus percaya kepada lembaga-lembaga resmi,” ujarnya.

Di akhir penjelasannya, John mengutip data pengungsi terakhir, dengan jumlah di Kota Ambon sekira. 6224 jiwa, kemudian di Kabupaten Maluku Tengah 90.833 jiwa, serta di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) 6.244 jiwa. Itu artinya total keseluruhan pengungsi di tiga kabupaten kota ini sebesar 103.300 jiwa.

MASIH TRAUMA GEMPA

Di kesempatan yang sama, penerima manfaat yang adalah para pengungsi, juga diberikan kesempatan untuk memberikan testimoni, sekaligus menjawab pertanyaan yang diajukan audiance video conference di Belanda.

Dalam tanggapannya, Yacobis Kaitjily, perwakilan pengungsi Negeri Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, mengaku masyarakat di Waai yang masih mengungsi berjumlah 2.270 KK. Mereka masih berada di hutan-hutan.

“Kami di sana terbagi dalam 19 titik. 15 titik itu di negeri kemudian ditambahkan dengan 4 titik lagi yang terdiri dari dusun yaitu Wainuru, Batudua, Ujung Batu dan Batunaga,” ungkapnya.

Dia menuturkan, kondisi di Waai saat ini, ada sebagian warga yang turun tinggal di kampung. Mereka yang sudah turun dan tinggal ini adalah mereka yang rumahnya tidak rusak.

“Kami yang punya rumah rusak, memang sudah turun juga. Tetapi turun pagi untuk bersih-bersih rumah, sorenya naik ke hutan lagi. Sedangkan untuk empat dusun lainnya itu, kita tidak tahu bagaimana kondisinya, karena letaknya berjauhan,” terang Yacobis.

Kondisi ekonomi masyarakat di Negeri Waai khususnya pada 15 titik pengungsian itu, menurut Yacobis, rata-rata tidak lancar bekerja. Ini berdampak pada pendidikan anak-anak, karena terhambat oleh kondisi transportasi. Meski begitu, memang kondisi pendidikan dari sekolah Paud, TK, SD, SMP dan SMA masih berada di area pengungsian.

Belakangan, kata dia, berkat dukungan dari beberapa pihak, sudah ada renovasi pembangunan sekolah khusus SD. “Jadi besok lusa ini anak-anak akan turun sekolah di sekolah yang sebenarnya, bukan lagi di tenda,” ungkapnya.

Masalah yang dihadapi saat ini, kata dia, adalah masalah sanitasi dan air bersih. “Kita sekarang beli air, 3 jerigen seharga Rp.10.000, sedangkan sanitasi sudah tidak layak lagi karena terbuat dari drum,” terangnya.

Dia mengakui, secara umum kehidupan masyarakat agak sulit, karena mereka belum fokus untuk bekerja. Mungkin karena merasa takut atau trauma.

“Ada himbauan dari pemerintah negeri untuk mengajak masyarakat turun di kampung. Tetapi selalu bertepatan dengan gempa. Sehingga keinginan dari pemerintah negeri ini terhambat,” ujar Yacobis.

Ternyata kondisi yang sama, dialami juga oleh daerah pengungsian lainnya, tidak hanya di Negeri Waai.

Di akhir tanggapannya, atas sejumlah pertanyaan bagi pengungsi, Yacobis tak lupa menghaturkan terima kasih atas nama pemerintah negeri dan masyarakat Waai, atas bantuan dari PMI, Yayasan Titane dan mitranya, serta masyarakat di Belanda, atas bantuan yang telah mereka terima.

Ucapan yang sama disampaikan Moh. Ali Rachman Pary, perwakilan dari Negeri Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupten Maluku Tengah.

“Kami mewakili pemerintah Negeri Liang sangat berterima kasih semoga basudara di Belanda diberkati. Semoga bisa menjadi tumpuan menyalurkan bantuan-bantuan kepada saudara-saudara yang sampai sekarang masih membutuhkan,” ujarnya.

Sampai sekarang, menurut Ali, seperti halnya di Negeri Waai, di Negeri Liang masih ada juga pengungsi. Jumlahnya masih sama dengan saat awal mengungsi, yakni 2.153 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah jiwa, 8.472 jiwa (data BPS 2018).

“Yang beraktifitas seperti biasa dalam kampung di rumah-rumahnya itu sekitar 20%. Itu juga masih berstatus mengungsi, karena rumahnya masih aman-aman,” terangnya.

Selanjutnya, kata Ali, 70% itu masih berada di lokasi pengungsian dan itu tidak bisa turun lagi sebab rumah rusak total, rusak sedang dan rusak ringan mencapai ribuan rumah. Rusak berat sekitar 900 lebih, jadi Negeri Liang disebutnya sangat membutuhkan dukungan.

“Yang kami butuhkan saat ini, yaitu pertama sangat membutuhkan air bersih. Selanjutnya kami membutuhkan proses trauma healing, karena masyarakat terus terpapar hoax,” pungkasnya.(*)

Share:
Komentar

Berita Terkini