Melawan Kekerasan terhadap Anak dari Hulu ke Hilir di Maluku

Share:

Polwan Polda Maluku melakukan edukasi tentang UU Perlindungan Anak dan UU Penghapusan KDRT di Kota Ambon pada Oktober 2022.
Photo: HO-Polda Maluku/ant

satumalukuID - Polisi Wanita (Polwan) Kepolisian Daerah Maluku pada tahun ini makin sering menyambangi sekolah-sekolah untuk membicarakan satu hal yang kerap dianggap tabu, yakni pendidikan seks. Ini merupakan ikhtiar untuk melawan kekerasan terhadap anak dari hulu hingga hilir.


Polwan Polda Maluku pada bulan ini juga melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap anak di bawah umur untuk para pelajar di sejumlah sekolah di Kota Ambon. Materi sosialisasi adalah mengenal apa itu kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Kemudian edukasi tentang pendidikan seks dalam bentuk pengenalan tentang apa yang dimaksudkan dengan seks, hal-hal apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh anak-anak di bawah umur yang masuk dalam kategori kekerasan seksual terhadap anak.

Selain itu, siswa juga dibekali kiat-kiat menghadapi pelaku kejahatan di media sosial (medsos) yang ingin menjadikan anak sebagai objek kejahatan, pelaku groomingscammer pedofil online, serta apa yang harus dilakukan apabila anak telah menjadi korban kekerasan seksual, termasuk bagian tubuh mana yang boleh dipegang dan tidak boleh dipegang.

Bagi sebagian orang, membicarakan tentang seks dinilai pamali, pantangan, dan tabu. Ada yang masih menganggap moral adalah urusan masing-masing individu. Padahal faktanya kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur sudah mencapai titik rawan di Maluku.

Berdasarkan data Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Maluku pada 2021, jumlah narapidana kasus kekerasan terhadap anak yang kini berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun Rumah Tahanan (Rutan) di Maluku termasuk tinggi. Bahkan, jumlahnya lebih banyak dari napi kasus narkoba.

Dari 1.556 napi maupun tahanan di seluruh Lapas dan Rutan di Maluku, 524 orang di antaranya atau mencapai 33,67 persen terkait kasus kekerasan terhadap anak. Adapun napi kasus narkoba berada di peringkat dua, yakni 272 orang (17,48 persen). Di Lapas Ambon jumlah napi kekerasan terhadap anak mencapai 140 orang.


Anak bukan properti

Jumlah penghuni penjara dari kasus kekerasan terhadap anak masih akan bertambah karena berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Anak, dan Masyarakat Desa (DP3AMD) Kota Ambon, jumlah kasus kekerasan terhadap anak hingga Agustus tahun ini mencapai 66 kasus. Yang menonjol adalah kasus persetubuhan anak atau rudapaksa, yakni mencapai 24 perkara.

Kasus lainnya adalah kekerasan terhadap anak ada 17 kasus, penelantaran anak ada empat kasus, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dua kasus, kasus terkait risak (bully) dan penganiayaan ada satu kasus.

"Dari banyaknya kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan menunjukkan bahwa keluarga, sekolah, dan masyarakat belum mampu memberikan perlindungan yang memadai terhadap anak," kata Kepala DP3AMD Kota Ambon Megy Lekatompessy.

Fakta dan data tersebut menunjukkan bahwa anak kini sangat rentan menjadi korban kekerasan terutama kekerasan seksual. Sebagian orang dewasa, menurut dia, memiliki pola pikir bahwa anak disamakan dengan properti hak milik sehingga muncul kecenderungan untuk terjadi perlakuan yang sewenang-wenang termasuk mendapat pukulan, hujatan, ataupun bentuk kekerasan lainnya.

Kasus yang menonjol di Maluku pada tahun ini, antara lain, seorang kakek di Kota Ambon yang tega melakukan rudapaksa terhadap lima anak kandung dan dua cucunya sendiri. Kemudian ada seorang nelayan di Kabupaten Kepulauan Aru yang memerkosa dan membunuh tetangganya yang baru berusia sembilan tahun, dan seorang kepala sekolah dasar di Namrole, Kabupaten Buru Selatan, ditangkap karena memerkosa muridnya.

Artinya, kasus kekerasan yang dialami anak justru terjadi di rumah sendiri, lembaga pendidikan, dan lingkungan sekitarnya. Kebanyakan pelakunya juga adalah orang yang seharusnya melindungi anak seperti orang tua kandung, paman, bapak atau ibu tiri, paman, tetangga, dan lainnya.


Hulu ke hilir

Keluarga seharusnya menjadi pelindung anak terhadap segala bentuk kekerasan dan peran orangtua sangat krusial dalam menanamkan nilai moral sejak dini. Meski begitu, tantangan untuk melindungi anak jauh lebih sulit di tengah era digital sekarang ini. Pendamping Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TPA2A) Ambon Nini Kusniati menyebutkan 85 persen kekerasan seksual pada anak terjadi karena dipicu media sosial.

Orang tua harus bisa mengontrol anak dalam menggunakan media sosial dan itu tidak hanya untuk anak perempuan karena anak laki-laki juga rentan salah pergaulan akibat media sosial. Karena itu, P2TPA2A Ambon seperti halnya Polwan Polda Maluku terus melakukan sosialisasi kepada anak-anak di sekolah mengenai kekerasan seksual yang bisa dipicu dari medsos. Keingintahuan anak yang sangat tinggi harus diarahkan dengan baik agar tidak berujung pada hal negatif.

Sementara itu, penanganan di bagian hulu oleh Polda Maluku juga dilakukan dengan terus mengedukasi masyarakat tentang Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Dengan masyarakat lebih paham tentang hukum maka bisa mencegah terjadinya kasus kekerasan terhadap anak dan KDRT.

Sasaran sosialisasi adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, dan warga. Hal tersebut adalah satu bentuk melindungi kaum rentan, yaitu perempuan dan anak dari korban kekerasan fisik maupun psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran.

"Kami harap lewat sosialisasi dan edukasi itu bisa membuat masyarakat tahu dan paham arti KDRT dan perlindungan anak serta dampaknya," kata Kabid Humas Polda Maluku Kombes Pol. M. Roem Ohoirat.

Institusi pendidikan di Maluku juga perlu diperkuat untuk penanganan kasus kekerasan terhadap anak. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Maluku meminta setiap sekolah memiliki acuan penanganan terhadap anak-anak korban kekerasan seksual. Korban wajib dilindungi di lingkungan sekolah mana pun.

Pengelola sekolah, terutama guru, harus bisa membaca kondisi korban dan lingkungan korban di sekolah. Apabila dinilai tidak aman bagi korban, maka pihak sekolah bisa menyarankan untuk memindahkan korban ke sekolah yang lebih aman. Hal itu bisa membantu mengurangi trauma dari korban untuk menghindari anak mendapat tekanan psikologis dari teman-teman dan lingkungannya.

"Anak korban kekerasan seksual di mana pun harus tetap diperlakukan seperti biasa dan diberikan kesempatan untuk bersekolah seperti biasanya," kata Ketua PGRI Maluku Nizham Idary Toekan.

Cara lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk penanganan korban kekerasan seksual terutama terhadap anak, adalah dengan membangun rumah aman (safe house) untuk korban. Ini adalah sebuah konsep perlindungan terhadap korban dengan memberi tempat perlindungan yang dilengkapi dengan pendampingan pengobatan trauma (trauma healing). Saat ini di Kota Ambon baru ada dalam bentuk penampungan (shelter) untuk menangani korban kekerasan seksual yang batas penanganannya hanya 14 hari.

Hal ini sebenarnya menyulitkan pendamping dari P2TP2A Kota Ambon untuk menangani para korban kekerasan seksual yang mengalami trauma mendalam.

Yang tidak kalah penting dalam penanganan di bagian hilir adalah penegakan hukum. Untuk hal ini, Kapolda Maluku Irjen Pol. Lotharia Latif memerintahkan jajarannya menindak tegas para pelaku kekerasan seksual sesuai dengan undang-undang.

Dalam penanganan kasus kekerasan seksual tidak ada mediasi antara korban dan pelaku yang berujung pada penyelesaian dengan keadilan restoratif (restorative justice).

Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dikhawatirkan masih terus terjadi karena disinyalir belum ada efek jera secara langsung kepada pelakunya. Karena kekerasan terhadap perempuan dan anak kerap dianggap aib, membuat penyelesaian kasus tersebut selalu berakhir damai lewat mediasi secara adat oleh pihak pelaku dan korban.

"Saya perintahkan kepada penyidik untuk menindak tegas para pelaku," tegas Lotharia Latif.

Selain itu, Polda Maluku juga sedang menyiapkan tim trauma healing beranggotakan 21 Polwan yang bisa membantu memulihkan kondisi psikologi warga yang terdampak bencana alam dan bisa juga diarahkan membantu korban kekerasan seksual. Tim tersebut mendapat pelatihan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) program studi Bimbingan Konseling Universitas Pattimura Ambon.

Upaya melawan kekerasan seksual terhadap anak dari hulu ke hilir itu diharapkan bisa benar-benar melindungi anak dan memastikan korban tetap merasa masih memiliki masa depan. (Febrianto Budi Anggoro/ant)

Share:
Komentar

Berita Terkini