"Bahaya Seram" dan Upaya Membangun Ketangguhan Hadapi Bencana Alam

Share:

satumalukuID – Pulau Seram terletak di sebelah utara Pulau Ambon, merupakan pulau terbesar dari 1.412 pulau yang ada di provinsi Maluku. Luasnya mencapai 18.625 Km persegi dengan garis pantai sepanjang 340 Km.

Pulau yang tergolong kaya berbagai sumber daya alam dan dibagi menjadi tiga kabupaten itu, menyimpan potensi bencana yang bisa terjadi kapan saja.

Dari 12 potensi bencana yang ada di Maluku, sebagian besar berpotensi terjadi di Pulau Seram. Tanah goyang atau gempa bumi dan “air turun-naik” atau tsunami merupakan dua jenis bencana paling sering terjadi di Pulau Seram.

Seperti pada 29 September tahun 1899 dan dikenal dengan “Bahaya Seram”, tercatat sebagai salah satu bencana mematikan di Tanah Air karena menelan korban jiwa lebih dari 4.000 orang.

“Seluruh wilayah pesisir pantai di Maluku terutama Pulau Seram pernah terpapar tsunami. Beberapa di antaranya tercatat sebagai tsunami dengan korban jiwa banyak,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam satu kesempatan kunjungan ke Pulau Seram, September 2021.

Wilayah Pulau Seram memiliki potensi bahaya tsunami non-tektonik, atau tsunami yang bukan disebabkan gempa, cukup tinggi. Hasil penelusuran dan verifikasi zona bahaya yang dilakukan BMKG menunjukkan sepanjang garis pantai Pulau Seram merupakan laut dalam dengan tebing-tebing curam yang sangat rawan longsor.

Peta wilayah terdampak tsunami di Indonesia yang dikeluarkan BMKG memperlihatkan, seluruh pesisir pantai di Provinsi Maluku berwarna kuning, oranye hingga merah karena pernah terkena dampak tsunami dalam skala kecil maupun besar, termasuk yang merusak dan menimbulkan korban jiwa. Apalagi letak Maluku yang berada persis di jalur cincin api.

Kampung Tenggelam

Gempa berkekuatan M7,8 pada 29 September 1899 yang dikenal sebagai Bahaya Seram itu, tidak hanya menelan korban jiwa banyak, tetapi juga menenggelamkan beberapa kampung atau negeri.

Negeri Samasuru-Paulohy di Kecamatan Teluk Elpaputih merupakan salah satu negeri yang seluruh kampungnya tenggelam ke dasar laut akibat bencana dahsyat itu. Begitu juga Negeri Amahai yang menjadi pintu masuk ke Pulau Seram melalui jalur laut, sebagian tanjungnya amblas ke dasar laut.

“Kampung yang sekarang ini adalah kampung baru. Daerah ini sebelumnya hutan belantara. Kampung yang tenggelam ke dasar laut letaknya lebih dari lima kilometer dari pesisir pantai saat ini,” kata Tetua Adat Negeri Samasuru, Corneles Lohy (79).

Corneles yang akrab dipanggil Tete (opa) Neles menceritakan kampungnya tenggelam setelah dihantam tiga gelombang besar yang datang berturut-turut pada pukul 01.30 WIT.

Sepekan sebelum bencana terjadi ada seorang warga dari pedalaman Pulau Seram memberitahukan kepada Raja untuk meninggalkan kampung karena akan terjadi tsunami besar. Tetapi Corneles Maelopu yang menjadi Raja ke-10 di Negeri Samasuru saat itu, tidak mempercayainya, hingga bencana itu benar-benar terjadi.

Pada tahun 1999 masyarakat Samasuru bersiap mengungsi karena telah mendengar cerita bahwa siklus Bahaya Seram akan berulang 100 tahun, tetapi ternyata bencana itu baru terjadi kembali pada tahun 2006 berkekuatan M7,3. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu karena seluruh warga siaga dan mengungsi saat merasakan gempa.

Dua kali diguncang gempa membuat pesisir pantai Negeri Samasuru semakin curam dan terjal, tidak tampak lagi pasang surut.

Warga pernah mengukur kedalaman dari bibir pantai menggunakan tali. Hasilnya jarak tiga meter dari bibir pantai kedalamannya 23 meter, sedangkan enam meter dari tepi pantai kedalamannya lebih dari 29 meter, dan panjang patahan lebih dari 280 meter.

Sama seperti Samasuru, Bahaya Seram juga meninggalkan kisah pilu bagi warga negeri Amahai. Tanjung Kuako di negeri itu yang menjorok ke laut sepanjang lebih dari 250 meter dan dianggap sebagai pelindung kampung, ikut tenggelam ke dasar laut.

“Sebelum bencana 1899, orang yang berdiri di ujung Tanjung Kuako bisa melihat Negeri Samasuru-Paulohy di seberang. Menurut penuturan leluhur ayam kukuruku (berkokok) di Samasuru bisa terdengar di Amahai atau sebaliknya. Artinya letak dua negeri ini sangat dekat,” kata Sekretaris Negeri Amahai Yoppy Lasamahu.

Saat ini letak kedua negeri sudah sangat jauh, tidak bisa dijangkau dengan mendayung perahu seperti sebelum bencana pada 122 tahun silam.

Sebelum terjadi bencana warga Amahai sudah diingatkan untuk mengungsi oleh seorang pemuda yang mendapat penglihatan bahwa akan terjadi bencana air turun-naik. Namun tidak ada yang mempercayainya, karena Negeri Amahai kala itu dalam penguasaan Belanda dan menjadi ibu kota Onderafdeling Seram Selatan, meliputi Kecamatan Tehoru sekarang.

Penanda dan mitigasi

Untuk mengenang sejarah itu, maka telah dibangun beberapa monumen sebagai penanda dan bukti bahwa Bahaya Seram pernah terjadi.

Di Negeri Samasuru misalnya penandanya adalah talud setinggi 1,5 meter yang dibangun sepanjang hampir 100 meter. Tempat di mana talud itu dibangun merupakan batas jangkauan air laut saat tsunami datang menenggelamkan kampung itu. Jaraknya pun hanya sekira 10 meter dari bibir pantai Negeri Samasuru.

Selain itu ada penanda yang tidak kelihatan seperti bunyi dentang lonceng gereja, atau suara alunan musik yang meriah seperti sedang pesta, yang sering terdengar dari dasar laut.

“Pada waktu tertentu bunyi-bunyi dari dasar laut akan terdengar tepat pukul 24.00 WIT. Biasanya didengar warga yang sedang memancing ikan atau sedang berada di pantai,” ujar Tete Neles.

Suara dari dasar laut diyakini warga sebagai peringatan bahwa bencana dapat terjadi kapan saja, sehingga mereka harus siap menyelamatkan diri saat merasakan getaran walaupun dalam skala kecil.

Di Negeri Amahai didirikan sebuah tugu peringatan berisi relief yang menggambarkan dahsyatnya bencana itu. Tugu itu juga menjadi monumen yang merefleksikan ikatan hubungan persaudaraan antara warga Amahai dengan warga Ihamahu dari Pulau Saparua yang ikut menjadi korban dalam bencana itu.

Begitu juga di Negeri Ruta yang berjarak sekira 10 kilometer dari Amahai juga berdiri sebuah tugu yang merekam jejak tsunami 1899 sebagai awal terbentuknya Negeri adat itu, serta sebuah museum mini di Negeri Soahuku.

Setiap tanggal 29 September pemerintah dan warga kedua negeri akan menggelar peringatan dalam bentuk ibadah syukur. Tidak ada ritual khusus selain ibadah di gereja masing-masing untuk mensyukuri kehidupan dari Sang Kuasa.

Di Negeri Amahai juga ada ziarah ke monumen persaudaraan diikuti seluruh warga tepat pukul 24.00 WIT. Saat itu akan dibacakan sejarah Bahaya Seram sebagai tuturan dan pengingat kepada masyarakat bahwa bencana itu ada, sekaligus membangun kesadaran seluruh unsur pentaheliks di desa untuk bergerak bersama meningkatkan mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi bencana.

Pemerintah Negeri Amahai dan Samasuru terus melakukan berbagai upaya mitigasi untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat hadapi bencana, mengingat Kecamatan Amahai dan Teluk Elpaputih merupakan daerah paling rawan karena terletak di zona patahan aktif yang terus bergerak setiap saat.

Sosialisasi paling gencar dan masih dilaksanakan melalui jalur sekolah untuk memperkenalkan tanda-tanda bencana dan prosedur penyelamatan diri kepada siswa.

Siswa sekolah termasuk kelompok paling rentan jika terjadi bencana, sehingga pengetahuan mereka tentang bencana perlu ditingkatkan dengan cara lebih efektif dan mudah dimengerti.

Kepala Bidang Kesiapsiagaan BPBD Maluku Tengah, Zeth Sahalessy mengatakan, pihaknya terus melakukan sosialisasi serta simulasi gempa dan tsunami bekerja sama dengan pihak sekolah maupun pemerintah desa, kendati frekuensinya relatif masih sedikit karena keterbatasan anggaran.

Pihaknya menyadari tsunami yang disebabkan longsoran bawah laut dapat terjadi kapan saja, apalagi berdasarkan pemodelan BMKG estimasi waktu kedatangan tsunami bisa sangat cepat. Hanya dalam hitungan kurang dari 3 menit, sehingga masyarakat perlu mengetahui tanda-tanda dan kapan waktu mengevakuasi diri secara mandiri.

BPBD setempat juga menyosialisasikan secara masif penggunaan toleng-toleng atau kentongan sebagai alarm untuk peringatan dini gempa dan tsunami. Dalam kondisi kekinian kebanyakan warga di kampung-kampung akan membunyikan tiang listrik atau lonceng gereja dan beduk masjid sebagai alarm.

Prinsipnya dengan segala keterbatasan BPBD memanfaatkan berbagai kearifan dan kondisi kekinian untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana.

Saat ini kalau terjadi guncangan kecil saja warga langsung bergerak ke lokasi lebih aman dan menghindari pesisir pantai. Kebiasaan ini sangat membantu mengurangi jumlah korban tsunami benar-benar terjadi lagi.

Share:
Komentar

Berita Terkini