Oknum Polisi Dilaporkan karena Dugaan Pemerasan Warga di Kota Ambon

Share:

satumalukuID – Polresta Pulau Ambon dan PP Lease membenarkan adanya pengaduan terhadap oknum polisi berinisial DD karena dugaan pemerasan dan pengancaman terhadap warga di Kota Ambon, Provinsi Maluku.

“Yang diadukan adalah Ipda DD bersama adiknya Abram yang berprofesi sebagai pengemudi angkot,” kata Kasie Humas Polresta Ambon dan PP Lease, Ipda Moyo Utomo di Ambon, Selasa (29/3/2022).

Korban adalah Usman, yang melapor ke polisi melalui penasihat hukumnya dari Law Offices of Marnex Ferison Salmon bersama rekannya Ronaldo Manusiwa.

Menurut Moyo Utomo, setelah dilakukan pengecekan ke bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polresta, ternyata tidak ada laporan terkait oknum polisi tersebut tetapi memang ada pengaduan dalam bentuk surat masuk di Sium Polresta.

“Memang ada laporan masuk tetapi pengaduannya dalam bentuk surat masuk di Sium Polresta dan Ipda DD bukanlah anggota Polresta Pulau Ambon,” ujarnya.

Sementara penasihat hukum pelapor, Marnex Salmon mengatakan, selain melaporkan Ipda DD bersama Abram ke SPKT Polresta Pulau Ambon, pihaknya juga membuat laporan resmi ke Propam Polda Maluku atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oknum polisi tersebut.

Sedangkan untuk laporan resmi ke SPKT Polresta Ambon oleh pelapor melalui penasihat hukumnya Law Offices of Marnex Ferison Salmon, Ipda DD bersama saudaranya Abran dilaporkan atas dugaan pengancaman, pemerasan, dan pencemaran nama baik Usman selaku pelapor.

“Ipda DD diduga telah melakukan pemerasan terhadap klien kami sebesar Rp100 juta dan memaksanya membuat surat pernyataan di atas meterai Rp10.000 atas tuduhan perbuatan pelecehan seks terhadap anak bawah umur,” ucap Marnex.

Peristiwa ini berawal pada tanggal 18 Maret 2022, terlapor mendatangi rumah pelapor dan secara diam-diam membawa Usman ke tempat kos terlapor dan menuduhnya telah melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur saat datang berbelanja di kios pelapor.

Pelapor merasa keberatan dan meminta terlapor sama-sama ke rumahnya untuk melihat rekaman kamera pengintai untuk membuktikan kebenaran tuduhan tersebut, namun terlapor tidak bersedia dan mengancam pelapor hingga menyuruhnya membuat surat pernyataan yang mengakui perbuatan itu sebanyak dua kali.

“Mereka juga meminta klien kami membayar Rp100 juta dengan batas waktu tiga minggu secara mencicil setelah surat pernyataan ditandatangani,” ujarnya.

Namun baru seminggu membuat surat pernyataan, terlapor mendatangi rumah pelapor secara diam-diam dan memanggilnya untuk meminta cicilan pembayaran uangnya, tetapi pelapor mengatakan belum ada uang dan harus berembuk dengan pihak keluarga.

Share:
Komentar

Berita Terkini