Pallesi Mengantar Lahirnya Komunitas Budaya Lanit'e di Ambon

Share:

satumalukuID – Lelaki itu bergerak perlahan ke sana kemari. Suasana nampak hening, dalam ruangan dengan cahaya seadanya. Lelaki itu adalah Pallesi.

Seorang anak Maluku, yang lahir tumbuh dan besar dengan ajaran dan tradisi para leluhur. Sejak kecil, dia selalu disajikan berbagai kapata dan lani, tentang keluhuran dan kemulian tatu-tua.

Lalu ketika ia besar, kuliah, masuk dalam ruang sosial yang lebih luas, Pallesi menyaksikan potret yang berbeda, bertentangan dengan ajaran para leluhur. Ketika itu ia mengalami semacam guncangan psikologis. Sebab ia mendapati orang-orang yang mengaku anak negeri justru menginjak-nginjak ajaran dan tradisi para leluhur.

Ia mendapati budaya warisan para leluhur telah ditinggalkan. Bahasa, adat, yang memiliki nilai kemuliaan, tak lagi terlihat dalan perilaku sehari-hari orang Maluku. Segalanya serba seremonial.

Sebagai generasi, anak cucuk leluhur, Pallesi ingin merubah keadaan itu. Namun ia hanya seorang diri, ia tidak begitu kuasa untuk membebaskan rakyat dari belenggu hidup semacam itu. Ia mengalami turbulensi, depresi, dan puncaknya, ia hendak memutuskan berhenti untuk melanjutkan perjuangannya dalam menjaga tatanatan leluhurnya.

Di satu malam yang sunyi, Pallesi masih tetap terjaga. Dalam dirinya ada pertempuran hebat antara hati dan akalnya. Dia mengalami dualitas diri yang masing-masing berebut dominasi.

Diri yang satu begitu ego diri, menginginkannya untuk meninggalkan kehidupan sosial dan menyendiri dalam kesunyian. Sementara dirinya yang lain ingin mengajaknya untuk tetap komitmen dan konsisten dijalan perjuangan, jalan pengorbanan.

Lalu, setelah pergolakan itu, sisi lain Pallesi yang mengajaknya untuk melanjutkan perjuangan memenangkan pergolakan itu. Dan akhirnya dengan sumpahnya: Demi Tanah, Demi Tradisi, Demi Leluhur, Pallesi memantapkan diri untuk terus berjibaku bersumbangsih bagi negeri, menjaga tradisi, melanjutkan ajaran para leluhur.

Orasi Kebudayaan yang disampaikan Pimpinan Lanit’e, M. Fazwan Wasahua, saat peluncuran Komunitas Budaya tersebut di Ambon, Sabtu malam (11/9/2021).(Foto: Dok. Komunitas Lanit’e)

Itulah sebuah drama monolog bertajuk “Malu-Ku” yang dibawakan dengan apik oleh La Ode Masri, dan dua sahabatnya, Amhy Sayuti serta Ifda Makatita. Monolog ini menandai peluncuran Komunitas Budaya Lanit’e, yang berlangsung sederhana di Ambon, Sabtu malam (11/9/2021).

Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, Hilmar Farid, yang dihubungi satumaluku.id dan potretmaluku.id, melalui sambungan telepon, mengapresiasi kemunculan Komunitas Lanit’e.

“Ini menunjukkan semangat kalangan muda untuk memajukan kebudayaan. Saya menyambut baik kehadiran Komunitas Lanit’e, dan berharap teman-teman ini bisa berkontribusi positif dan bekerjasama dengan berbagai unsur,” ujar Hilmar, sesaat setelah peluncuran komunitas tersebut.

Hilmar yang juga membuat video ucapan selamatnya dan ditayangkan saat acara peluncuran berlangsung, juga berharap pemerintah daerah entah itu di kota maupun provinsi, bisa turut mendukung dan melihat kehadiran Komunitas Lanit’e ini sebagai mitra kerja yang setara.

Apresiasi yang sama juga datang dari Guru Besar Universitas Pattimura Ambon, Prof. Dr. A. Watloly, yang ikut hadir pada acara peluncuran komunitas yang dikomandoi M. Fazwan Wasahua ini.

“Generasi yang sudah tua, selama ini bergelut dengan proses-proses membangun budaya Maluku, dan teristimewa kita harus bersyukur bahwa kita Maluku itu dulu, meski pernah dikacaukan oleh sebuah situasi tetapi kita memenangkannya. Kita punya keutuhan muncul kembali, karena kita menggunakan pendekatan budaya,” sebutnya.

Menurut ia, kini generasi muda Maluku ingin mempertahankan realitas itu.

“Bahwa hanya dengan budaya Maluku yang tadinya talamburang, Maluku yang segregasi dalam berbagai macam realitas yang memang itu alami, dan sudah terbentuk cukup lama membentuk ruang publik nilai yang sangat segregatif, tiba-tiba anak-anak muda ini muncul, mengawal semua proses itu,” katanya, terkait kehadiran Komunitas Lanit’e.

Bagi Watloly, kemunculan komunitas ini, bukan sebagai sebuah gerbong baru, tapi sebuah lokomotif budaya yang baru. “Sehingga diharapkan mereka akan menjadi pioner, agen-agen untuk kita terus membawa pemajuan bagi kebudayaan Maluku ini.

Pembukaan selubung papan nama oleh Pimpinan Lanit’e, M. Fazwan Wasahua (tengah), Prof. Dr. A. Watloly (kiri) dan Ustad Erwin Notanubun, saat peluncuran Komunitas Budaya tersebut di Ambon, Sabtu malam (11/9/2021).(Foto: Dok. Komunitas Lanit’e)

Ia katakan, Maluku ini maju karena punya kebudayaan. Jadi itu penting dimanapun juga mereka akan melakukan transformasi. Perubahan-perubahan perilaku, perubahan-perubahan pemikir yang selama ini yang disebutnya tadi, bahwa kita memang pernah hidup di sebuah periode segregasi beda dengan tete moyang dolo-dolo.

“Mereka yang yang disimbolakan dengan Lanite itu, mereka punya sebuah sumber narasi besar. Sekarang kita hanya hidup dalam narasi-narasi kecil, dan dibesarakan dari narasi-narasi kecil itu. Baik itu dalam bentuk agama, dalam bentuk budaya dalam bentuk pulau sehingga kita talamburang,” bebernya.

Padahal akar budaya itu, lanjut Watloly, begitu kuat dengan narasi-narasi yang inner values, yang gagasan-gagasan batinnya kuat dengan inner visions. Gagasan-gagasan batin dengan nilai debat yang kuat itu, kata dia, ternyata itu hanya ada di budaya.

“Kita sekarang mengalami kehampaan dan mereka (Lanit’e) ingin membawa kita, untuk bagaimana mengisi kembali kehampaan. Supaya kita menemukan kembali kekuatan jati diri dan trust. Saling percaya satu sama lain.

Di tengah-tengah masyarakat yang sudah hampir tidak ada saling percaya lagi, semua sudah saling membunuh, saling membenci, saling mengkafirkan satu dengan yang lain atas nama dewa-dewa segregasi,” tandasnya.

Sebagai generasi tua, Watloly mengaku bersyukur, bahwa kerinduan selama ini akan terobati, karena ada penerusnya. “Ada agen-agen muda yang bisa meneruskan itu. Apalagi menurut saya, mereka ini muncul dengan sebuah tekad luhur. Mereka muncul dengan kerohanian budaya yang kuat. Selama ini kan kita hidup dalam ragawi budaya kita. Kita hidup dalam kerohanian budaya,” pungkasnya.

Acara peluncuran yang berlangsung sederhana ini, selain diisi dengan drama monolog yang dibawakan La Ode Masri, Amhy Sayuti, dan Ifda Makatita, ada juga Orasi Kebudayaan dari Pimpinan Lanit’e, M. Fazwan Wasahua, serta Stand Up Comedy Kebudayaan dibawakan Walken Tamher (Juara 1 Stand Up Comedy Ombudsman RI Perwakilan Maluku), yang mampu mengocok perut para undangan yang hadir.

 

Share:
Komentar

Berita Terkini