Mama-mama Penenun Kain Tradisional Tanimbar Bertahan di Masa Pandemi Covid-19

Share:

satumalukuID – Hujan baru saja reda, setelah semalaman mengguyur Kota Ambon. Saya lantas mengenakan masker, mengantongi hand sanitazer, lalu segera bersiap-siap pergi ke daerah Skip di Kelurahan Batu Meja, Kecamatan Sirimau. Di sini saya akan bertemu penenun Kain Tradisional Tanimbar.

Tadinya saya ingin menumpang angkotan kota (angkot), jika hujan masih tetap deras. Meski ada sedikit rasa khawatir melihat beberapa angkot yang sering lewat di daerah saya, full dengan penumpang yang duduk berdesakan. Malah tak jarang ada penumpang bahkan sopir yang tidak mengenakan masker. Padahal ada anjuran menaati protokol kesehatan Covid-19, misalnya dengan menjaga jarak dan mengenakan masker ketika beraktifitas di luar rumah. Sebab dengan hal simpel itu saja, kita sudah ikut membantu memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Tapi syukurlah hujan sudah reda, dan saya bisa bepergian menggunakan sepeda motor.

Cahaya matahari mulai keluar dan aroma aspal yang khas setelah habis hujan, menemani saya selama perjalanan. Begitu tiba di kediaman Oma Dina dan Mama Rina Masela, saya disambut ramah oleh mereka. Oma Dina merupakan penenun kain tradisional Tanimbar, sedangkan Mama Rina adalah penjahtit yang memakaibahan dadar kaintenunan tradisionalmini. Mereka berasal dari Pulau Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Maluku.

Rasa penasaran saya akan Tenun Tanimbar lah yang membuat saya bertemu mereka, Kamis lalu (20/5/2021). Sebab masih sangat jarang masyarakat Maluku, termasuk saya tentunya, yang mengenal filosofi dan sejarah Tenun Tanimbar.

“Kain dalam bahasa Tanimbar yaitu Tais, dan saya sudah belajar menenun sejak kecil. Waktu itu sekitar kelas 4 SD. Semua perempuan Tanimbar harus bisa menenun, dan hal itu merupakan warisan di setiap keluarga yang hingga saat ini masiih berlanjut,” ungkap Oma Dina, yang sementara menenun kain bermotif panahan.

 

Tentang Tais ini, Oma Dina menuturkan kisah yang dia dengar di keluarganya sejak kecil, bahwa di zaman dahulu ada seorang nenek yang sedang berjalan-jalan di hutan, dan melihat begitu banyaknya kapas-kapas yang terbuang begitu saja. Sang nene akhirnya mengambil kapas-kapas tersebut lalu diolahnya menjadi benang, selanjutnya ditenun menjadi selembar kain. “Semenjak itulah kita mengenal kain tenun Tanimbar,” ujarnya.

Menurut Oma Dina, ciri khas kainnya bewarna Hitam, Merah, Kuning, dan Biru Tua. Prosesnya sangat panjang dan bisa memakan waktu selama tiga bulan, jika dihitung dari proses menghaluskan serta melepaskan biji-biji kapas, pewarnaan hingga proses menenunnya sendiri.

Alat yang digunakan untuk membuat tenunan kain tradisional Tanimbar.(satumalukuID/Tiara Salampessy)

“Warna hitam dan biru dihasilkan dari tanaman berwarna Targue, Kuning berasal dari Kunyit, dan merah berasal dari Akar Tong atau lebih dikenal dengan nama bakau,” terangnya.

Dia katakan, terdapat lima motif tenun Tanimbar, dan ada pula tata cara pemakaiannya. Motif kerang dan mutiara biasanya digunakan dalam proses pernikahan, begitu juga dengan motif anggrek. Sedangkan motif hasil laut dan hasil bumi biasanya digunakan oleh kalangan bangsawa.

“Motif kerang dan mutiara melambangkan sosok perempuan yang masih suci, oleh sebab itu pengantin pria harus memberikan tenun tesebut untuk pengantin wanita. Ada pula motif dewa yang digunakan saat musim panen, ada motif jagung, dan panahan yang biasanya diberikan kepada anak atau seseorang yang hendak pergi merantau. Maknanya agar panahan tersebut menangkal segala hal-hal buruk,” paparnya.

Dia menambhkan pada prosesi perkawinan, para pengantin akan diberikan kain bermotif Teripang dan Lola (kerang), yang dimaksudkan agar dapat mempererat sang pengantin hingga akhir hidup mereka.

Sembari melihat Oma Dina menenun saya mengobrol dengan Mama Rina Masela yang lebih akrab disapa Mama Nona. Logatnya yang bak orang Ambon lama menetap di Negeri Belanda, membuat saya lumayan bersemangat untuk mengobrol dengan beliau.

“Saya sudah menjadi penjahit sejak tahun 70an, dan saat itu tenun masih sangat jarang didapatkan di Ambon. Karena tenunannya masih didatangkan langsung dari Tanimbar. Namun saat ini sudah semakin gampang didapatkan dan semakin banyak pengrajin di sini,” ucapnya.

Mama Nona sampaikan bahwa sejak dahulu kain tenun memang menjadi salah satu mata pencaharian para ibu di kampung halamannya itu, sebab dari penghasilan menenunlah mereka dapat menyekolahkan anak-anak dan membantu perekonomian keluarga.

 

Kain tradisional Tanimbar yang sudah selesai ditenun.(satumalukuID/Tiara Salampessy)

“Para ibu di sana, harus memenun dan menjual tenun yang dihasilkan agar dapat membantu biaya sekolah anak-anak mereka, dan itu dilakukan sampai saat ini,” terangnya.

Menurut Mama Nona, dia bersama mama-mama penenun sempat kuatir ketika pandemi Covid-19 menyerang tanah air, bahkan sampai di Kota Ambon. Apalagi dampak pandemi berimbas kepada sejumlah sektor. Dan mereka hanya menggantungkan hidup dari menenun.

Tapi syukurlah, Mama Nona dan para penenun, masih tetap bisa beraktifitas dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan. Apalagi beberapa sudah dalam lanjut usia. Sehingga mereka sadar, hanya dengan mengedepankan protokol kesehatan, seperti mengenakan masker, rajin mencuci tangan dan menghindari kerumunan bisa membuat mereka terhindar dari kemungkinan terkena Covid-19.

“Memang masa pandemi Covid-19 ini, penghasilan tidak sebanyak sebelumnya. Namun ini pun sudah sangat membantu ekonomi kami,” ungkapnya.

Dia mengaku, meskipun masa pandemi namun masih ada yang memesan kain, baik untuk dijadikan oleh-oleh, souvenir bahkan untuk acara perkawinan. Selain darintanah air, ada juga yang memesan dari Belanda dan Australia.

“Kita sangat bersyukur sebab pasti ada saja yang memesan tenun. Saya memiliki beberapa anggota penenun yang berada di daerah Skip. Apabila pesanannya banyak kita akan bagi-bagi tugas, sehingga para penenun tersebut tetap mendapatkan pesanan dan rezeki bisa terbagi,” pungkasnya.

Share:
Komentar

Berita Terkini