BKSDA Maluku Lepas Liarkan 20 Satwa di Gunung Sahuwai

Share:

Pelepasliaran satwa endemik oleh BKSDA Maluku, di Gunung Sahuwai, Kabupaten Seram Bagian Barat. Photo: HO-BKSDA Maluku/ant

satumalukuID - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Maluku melepasliarkan sebanyak 20 satwa endemik di Kawasan Suaka Alam (KSA) Gunung Sahuwai, Kabupaten Seram Bagian Barat.

Sebanyak 20 satwa endemik tersebut dengan rincian jenis enam ekor Kakatua Maluku (Cacatua moluccensis), dua ekor Perkici Pelangi (Trichoglossus haematodus), empat ekor Nuri Maluku (Eos bornea), tujuh ekor Walik Kembang (Ptilinopus melanospilus), dan satu ekor ular Sanca Kembang (Python reticulatus).

“Dalam rangka upaya pelestarian satwa liar yang dilindungi undang-undang, kami lakukan pelepasliaran satwa-satwa endemik di Kepulauan Maluku,” kata Petugas BKSDA Maluku Seto, di Ambon, Senin (28/11/2022).

Ia mengatakan, satwa-satwa yang dilepasliarkan tersebut merupakan hasil dari kegiatan patroli dan penjagaan peredaran tumbuhan satwa liar (TSL) di wilayah kerja Resor Pulau Ambon, translokasi satwa dari Balai Besar KSDA Jawa Timur, penyerahan dari Dinas Pemadam dan Penyelamatan Kota Ambon serta satwa hasil penyerahan secara sukarela dari masyarakat yang berada di Kota Ambon.

“Sebelum dilepasliarkan ke habitat aslinya, satwa-satwa tersebut sudah terlebih dahulu menjalani proses karantina, rehabilitasi, dan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan di Kandang Pusat Konservasi Satwa Kepulauan Maluku,” ujarnya.

Menurut Seto, BKSDA memilih kawasan KSA Gunung Sahuwai sebagai lokasi pelepasliaran, karena kawasan konservasi itu merupakan salah satu habitat asli satwa-satwa tersebut.

“Dengan kondisi hutan yang masih terjaga sehingga menyediakan sumber pakan alami yang masih melimpah,” katanya.

Dalam kegiatan pelepasliaran tersebut, BKSDA Maluku turut melibatkan dan disaksikan oleh Kepala Dusun Nagalema, Desa Waesala SBB, mahasiswa KKN Fakultas Pertanian dan Fakultas MIPA Universitas Pattimura (Unpatti), serta masyarakat yang berada di sekitar kawasan konservasi.

“Kami melibatkan masyarakat dalam kegiatan pelepasliaran tersebut, diharapkan akan menjadikan contoh, pengalaman, dan media sosialisasi kepada masyarakat untuk turut serta menjaga sumber daya alam khususnya satwa-satwa endemik dan dilindungi,” kata Seto.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bahwa, barang siapa dengan sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; (Pasal 21 ayat (2) huruf a), diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp.100 juta (Pasal 40 ayat (2)). (Winda Herman/ant)

Share:
Komentar

Berita Terkini