Fakta yang Ada Kontradiktif dengan Kebijakan Pemkot Jadikan Ambon 'Kota Layak Anak'

Share:

satumalukuID – Aktivis perempuan dan anak di Maluku menilai kebijakan pemerintah kota (Pemkot) menjadikan Ambon sebagai Kota Layak Anak masih kontradiktif dengan perkembangan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di daerah ini karena jumlah kasusnya cukup tinggi.

“Peningkatan kasus kekerasan yang terjadi di Ambon sangat kontradiktif dengan semangat Pemkot setempat  menjadikan Ambon sebagai Kota Layak Anak,” kata staf Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempauan dan Anak (P2TP2A) Maluku, Lusy Peilouw di Ambon, Kamis (18/11/2021).

Dia menyatakan, kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Ambon hingga posisi Oktober 2021 mencapai 111 kasus dan terbanyak perkaranya didominasi kekerasan terhadap anak.

Perkembangan peningkatan ini terbilang signifikan ditengah situasi pandemi COVID-19 bila dibandingkan dengan 2020.

“Kalau kita melihat fakta yang terjadi seperti ini sangatlah miris, sebab selama pandemi COVID-19, justru anak lebih banyak menghabiskan waktu mereka di rumah dan belajar secara daring,” ujar Lusy.

BACA JUGA:

 

Dia juga menilai tingginya angka kekerasan anak dan perempuan di Kota Ambon, karena Pemkot masih hanya terfokus pada upaya penanganan kasus, sementara implementasi Undang-Undang tentang PKDRT belum dilakukan secara maksimal.

“Bila menyandang status kota layak anak, seharusnya kebijakan yang dikeluarkan Pemkot Ambon lebih afirmatif progresif sehingga mampu menekan laju kekerasan terhadap anak dan perempuan,” kata Lusy..

Maka salah satu bentuk upaya mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak dan perempuan, yakni mempercepat pembahasan dan penetapan Perda tentang Perlindungan Anak dan Perempuan yang hingga kini belum diputuskan oleh DPRD Kota Ambon.

Berdasarkan data P2TP2A Provinsi Maluku hingga periode Agustus 2021, tercatat sedikitnya terdapat 30 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Maluku.

Rincianya dari 30 kasus tersebut, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah yang terbanyak yakni 16 kasus.

Kemudian, satu kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), lima kasus Perebutan Hak Asuh Anak, empat kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (KTP/A), tiga kekerasan dalam pacaran, dan satu kasus kekerasan seksual melalui media sosial.

Sedangkan data kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang diakses melalui Aplikasi Sistem Online Perlindungan Perempuan dan Anak  (Simponi) PPA oleh Pemprov Maluku melalui Dinas PPA, dari Januari sampai September 2021, tercatat 145 kasus.

Ke-145 kasus tersebut, tersebar di 11 Kabupaten/Kota dengan rincian, Kota Ambon 88 kasus, Maluku Tengah tujuh kasus, Seram Bagian Barat satu kasus, Kabupaten Buru dan Kota Tual masing-masing 21 Kasus, Kabupaten Kepulauan Tanimbar enam kasus, dan Kabupaten Kepulauan Aru satu kasus.

Jumlah korban kekerasan menurut jenis kelamin, laki-laki 36 dan perempuan 120 atau 76,92 persen.

Rata-rata usia anak 89 kasus dan dewasa 67 kasus sedangkan jumlah perempuan korban kekerasan yang mendapat pelayanan 291, yakni layanan pengaduan 97 dan kesehatan 35 kasus.

Selain itu, bantuan hukum 92 kasus, penegakan hukum 19 kasus, rehabilitasi sosial tiga kasus, reintegrasi sosial 38 kasus, pemulangan tujuh kasus, dan pendampingan tokoh agama satu orang.

Melihat perkembangan peningkatan kasus, mayoritas jenis kekerasan terhadap anak yakni kekerasan seksual, dan sebagian besar pelaku merupakan orang terdekat korban, seperti orang tua, tetangga dan pacar.

Lusy juga menduga kemungkinan masih ada banyak kasus kekerasan terhadap anak di daerah ini yang belum dilaporkan kepada aparat penegak hukum maupun kepada instansi dan P2TP2A.

Share:
Komentar

Berita Terkini