Kaum Ibu di Negeri Hukurila Menantikan Realisasi Janji Bantuan Tenda Jualan dari Dinas Pariwisata Kota Ambon

Share:

satumalukuID – Kaum ibu di Pantai Hukurila, Ambon sampai saat ini masih menantikan pengadaan 10 tenda jualan oleh Dinas Pariwisata Kota Ambon, untuk dimanfaatkan sebagai tempat berusaha di objek wisata itu.

“Mereka (Dinas Pariwisata) sudah menjanjikan pengadaan tenda, jauh sebelum pencanangan negeri ini sebagai “Dewi Bulan” atau desa wisata berkelanjutan,” kata Nace Maelissa – Angkotamony (42), pengelola lokasi pantai Hukurila bagian timur, saat ditemui di warungnya yang terletak persis di sebelah kanan pintu masuk objek wisata Pantai Hukurila, jasirah Leitimur.

Di jalan masuk pantai, terlihat sebuah kardus bekas air mineral yang dijadikan kotak uang masuk lokasi wisata itu. HTM  Rp2.000 per orang.

Minggu, 1 November 2020, adalah pekan kedua dibukanya kembali objek wisata pantai Hukurila oleh Keluarga Maelissa selaku petuanan (tuan tanah) yang mengelola, sejak ditutup delapan bulan lalu lantaran mewabahnya Covid-19. Hari itu pegunjung cukup ramai, berkisar 200 orang.

Bagi Nace dan keluarga, roda ekonomi kembali berputar, bukan saja untuk keluarga besarnya Maelissa, Angkotamony dan Porwaila, tetapi juga akan merambah ke keluarga-keluarga lain di wilayah itu, apabila pengadaan 10 tenda jualan direalisasikan oleh pemerintah kota.

Objek wisata Pantai Hukurila berlokasi di pinggir jalan negeri di kawasan yang biasa disebut “ron gunung”. Destinasi wisata ini juga dikenal dari keindahan bawah air yang menarik minat para penyelam (snorkling), tempat ini bisa dicapai dengan berkendara mobil atau sepeda motor melalui jalur Passo-Batu Gong-Toisapu-hutumuri-Rutong-Leihari, dan masuk ke Hukurila. Atau, bisa juga dari jalur negeri Batu Meja-Kayu Putih-Kilang-Naku-Ema.

Secara geografis, pantai itu terletak di bagian selatan Pulau Ambon, Maluku, tepatnya di kecamatan Leihitu Selatan. Pantai yang menjadi bagian dan menghadap langsung ke Laut Banda ini berjarak 12 kilometer dari Kota Ambon melalui rute Batu Meja.

Pada tahun 2010, saat berlangsung kegiatan bahari internasional Sail Banda, Pantai Hukurila menjadi salah satu tempat yang dijadikan pusat kegiatan para peserta lomba perahu layar dan wisatawan. Mereka datang ke Ambon memanfaatkan momentum tersebut untuk menyelam dan menikmati keindahan alam bawah air di tempat itu.

Di kalangan penyelam dunia, alam bawah laut Hukurila dikenal kaya dengan terumbu karang dan beragam spesies ikan unik yang hidup di dalamnya, sebut saja Lion fish, Schooling fish, dan Nemo yang dapat dijumpai pada kedalaman 15 hingga 20 meter.

Apriliani Rhanda, seorang pengunjung, mengaku datang ke tempat itu bersama teman dan saudara, setelah mendengar bahwa objek wisata tersebut sudah kembali dibuka.

“Kalau Natsepa belum. Hukurila dan beberapa pantai lain beta dengar juga sudah buka untuk umum,” katanya.

Pengakuan serupa datang dari Rhendy Tamaela, yang mengaku datang untuk melepas lelah setelah enam hari bekerja.

“Di sini pantainya indah dan banyak pohon rindang untuk berteduh. Tiduran di tikar juga nyaman sekali,” katanya.

Tawaran kerja sama

Dibukanya kembali objek wisata Pantai Hukurila diharapkan dapat kembali menggerakkan roda perekonomian warga negeri tersebut, apalagi keindahan pantai dan alam bawah airnya disukai wisatawan lokal, nasional maupun internasional.

Menurut Nace, objek wisata ini akan semakin cantik dan mempesona pengunjung bila dilakukan pemugaran dan sekaligus pengadaan fasilitas pelengkapnya. Selain tenda jualan yang dijanjikan kepada kaum ibu untuk berjualan aneka makanan dan jajanan, juga diperlukan pembangunan MCK, tempat duduk (gazebo) untuk menambah tiga unit yang sudah ada (bantuan pemerintah daerah), permainan, tempat sampah, payung dan kursi santai, dan sebagainya.

“Saat ini sudah ada satu rumah panggung untuk rombongan pengunjung yang ingin berkumpul dan mengadakan acara ibadah atau lainnya. Ada juga MCK yang dikelola keluarga Prwaila,” kata Nace.

Ibu empat anak dan isteri dari Uce Maelissa ini pun mengungkapkan bahwa pemerintah negeri Hukurila sebenarnya pernah menawarkan kerjasama pengelolaan, tetapi pembagian keuntungan yang ditawarkan tidak menarik. Pemerintah negeri mengajukan komposisi 90:10, sementara keluarga Maelissa minta bagian 40 persen dari total keuntungan.

“Kalau mereka tawarkan 70:30, kami mungkin mau tetapi harus lihat dulu fasilitas apa saja yang akan pemerintah lengkapi,” katanya.

Saat ini, uang yang diperoleh dari tiket masuk pengunjung dimanfaatkan pengelola untuk merawat kebersihan dan keindahan pantai secara apa adanya, karena mereka juga mengambil sebagian dari pemasukan itu untuk mencukupi keperluan keluarga. Pendapatan keluarga juga diperoleh dari penjualan makanan dan minuman seperti pisang goreng, sarmento (mie rebus dan telur), rujak bumbu kacang, es kelapa muda, dan menyewakan tikar.

Nace lebih jauh menyatakan keluarga dan kerabatnya di Hukurila pun sudah mendapat pembekalan bagaimana mengelola objek wisata dari sejumlah pakar pariwisata yang difasilitasi oleh Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Maluku. Mereka mendapat pelajaran tentang cara menyambut pengunjung, etika berbicara, cara berpakaian, cara menata fasilitas, dan sebagainya.

Bila kerjasama pengelolaan Pantai Hukurila terjalin antara pemerintah daerah dan keluarga petuanan, maka HTM lokasi wisata itu akan dipatok Rp5.000 dengan peruntukan : 1) Jasa Raharja Rp1.000, 2) Pemerintah negeri Rp2.000, 3) Petuanan Rp2.000.

Nace mengaku pembahasan mengenai rencana kerjasama itu sudah ada dan diharapkan terealisasi setelah pemilihan raja negeri (kepala desa) tersebut dalam waktu tidak terlalu lama lagi.

Bila kerjasama terjalin, maka ada harapan objek wisata Pantai Hukurila akan semakin tertata apik dan asri serta menyenangkan bagi pengunjung, dan dari sana akan mengalir pendapatan yang semakin besar tentunya.

Berpopulasi sekira 700 jiwa Hukurila juga adalah sebuah negeri nelayan. Berbeda dari Pantai Natsepa, misalnya, pengunjung yang datang ke pantai itu akan mendapati banyak perahu bermotor (bodi) milik para nelayan setempat, baik yang lego jangkar di perairan maupun di pasir pantai, juga beberapa nelayan yang sibuk membetulkan jaring.

Di tepi jalan masuk pantai pun terdapat monumen bertuliskan “Maesuri Lei Nusu Labuang Tihulessy Hena Hukurila” yang berarti mari masuk di pelabuhan Tihulessy Negeri H.ukurila.

“Itu orang tua dolo-dolo (nenek moyang) pung bahasa,” kata Nace.

Share:
Komentar

Berita Terkini