Resah dengan Budaya Dongeng yang Hampir Hilang, Eklin de Fretes Luncurkan Buku "Mari Belajar Mendongeng Kisah-kisah Damai"

Share:

satumalukuID – Nama Eklin Amtor de Fretes cukup populer pada kalangan pendongeng di tanah air. Ventriloquist (atau orang yang memiliki kemampuan memainkan suaranya hingga seolah-olah bukan suara dari mulutnya, dengan alat bantu tambahan boneka yang bisa digerak-gerakan) asal Maluku ini, sore tadi, Sabtu (31/1/2021), baru saja meluncuran buku pertamanya berjudul “Mari Belajar Mendongeng Kisah-kisah Damai’.

Acara peluncuran yang digelar di D’Lekker Caffe Ambon ini, berlangsung meriah dengan talkshow yang menampilkan Eklin selaku penulis buku, Embong Salampessy selaku editor dan Wendy Polhaupessy mewakili Direktur Clerry Cleffy Institute, Dwi Prihandini, selaku penerbit. Acara talkshow ini juga diselingi kegiatan mendongeng dari Sahabat Rumah Dongeng.

“Saya mulai mendongeng pada awal tahun 2018. Menjumpai anak-anak di darah perkotaan sampai pelosok desa. Melintasi pulau-pulau. Masuk ke dalam gereja, masjid, termasuk tempat-tempat ibadah saudara-saudara yang beragama suku. Masuk juga ke sekolah, kampus dan tempat-tempat lainnya di Maluku,” tutur Eklin.

Menurut Eklin, mendongeng merupakan salah satu pelayanan bagi anak-anak. Sebab dengan mendongeng, anak-anak bisa bahagia, tertawa lepas, belajar banyak nilai, dan bisa merasakan damai dengan cara sederhana.

“Sayangnya, saya melihat bahwa aktivitas mendongeng di Maluku sudah mulai hilang. Orang tua atau orang dewasa sulit memberi waktu untuk mendongeng, bagi anak-anak. Masa-masa dimana anak-anak bisa mendengar ayah, ibu, kakek atau nenek mendongeng saat sebelum tidur, maupun dalam waktu bersantai, sudah sangat sulit ditemukan,” ujar Eklin yang juga adalah seorang pendeta ini.

Dia menyebutkan, dalam beberapa kesempatan di daerah pelosok sampai di daerah perkotaan, ketika usai mendongeng lalu dia bertanya, “siapa yang biasa didongengkan oleh kakak, mama, papa, kakek atau nenek? Siapa yang sering didongengkan sebelum tidur?”.

“Syukur kalau ada satu anak yang mengangkat tangan. Tapi tidak sedikit anak yang jujur mengaku, bahwa belum pernah sama sekali mendengar dongeng,” ungkap Eklin, yang setiap penampilannya mendongeng, selalu ditemani satu boneka yang bernama Dodi, yang sebenarnya merupakan akronim dari Dongeng Damai ini.

Dari situ lah, Eklin menyimpulkan, bahwa budaya mendongeng hampir mati. Untuk itu, dia merasa sangatlah wajar jika harus berlelah demi menggerakan suatu yang hampir mati itu.

“Sejak saat itu saya berpikir untuk menuliskan pengalaman saya dalam mendongeng. Nah idenya kemudian berkembang untuk menulis sebuah buku belajar mendongeng, yang jadinya seperti ini, sebenarnya muncul ketika di suatu kesempatan, saya ngobrol-ngobrol dengan Abang Embong dan istrinya Kak Ivon,” bebernya.

Eklin mengaku sempat berupaya ke sana ke mari, termasuk menjual kembang agar bisa mengumpulkan uang guna menerbitkan buku ini namun terasa sulit. “Tapi untunglah, puji Tuhan, ada Ibu Dwi Prihandini lewat Clerry Cleffy Institute, yang dengan terbuka dan rendah hati mau membiayai penerbitan buku ini,” terangnya.

Melalui bukunya yang diterbitkan Penerbit Clerry Cleffy Institute (CCI) ini, Eklin berbagi pengalaman mendongeng, mulai dari teknik yang biasanya dia gunakan dalam “Dongeng Damai”, sampai kumpulan dongeng yang dibuatnya dan biasanya dibawakan dalam Dongeng Damai”.

“Semoga para orang tua dan pendidik dapat mencintai dongeng dengan belajar dari kisah Dongeng Damai,” harapnya.

Buku Mari Belajar Mendongeng Kisah-kisah Damai setebal 122 halaman ini, diberi pengantar oleh salah satu budayawan Maluku Elifas Tomix Maspaitella, yang mengaku sebagai penggemar rahasia Eklin dan Dodi, serta Opa Dodo. Ada juga pengantar dari Dwi Prihandini S.Psi., M.Si, selaku Pendiri & Direktur CCI yang juga Pendiri Panti Asuhan Shedini Cinta Maluku, Direktur Shedini Anugrah Pelangi  dan Direktur Shedini Sparta Spektra.

Share:
Komentar

Berita Terkini